Dalam adat Jawa, setidaknya ada empat tahapan yang perlu dilalui sebelum pertunangan.
Pertama, Congkog, yaitu datangnya seorang utusan dari mempelai pria untuk melihat dan menilai mempelai wanita beserta kondisi keluarganya.
Kedua, Salar, memastikan kebersediaan kedua pihak mempelai untuk melanjutkan jenjang pernikahan.
Ketiga, Nontoni, dipertemukannya mempelai pria dan wanita. Setelah itu, barulah yang keempat, Ngelamar.
Pada kasus Aisyana dan Yusuf, secara tidak langsung tiga tahapan pertama telah dilalui. Kini, acara intinya adalah lamaran, mengikat secara resmi.
Keluarga Hardiyata begitu menghormati pihak mempelai wanita. Orang Jawa bilang, ngajeni, menghargai.
Peningset atau seserahan yang diberikan tidak boleh sembarangan. Harus meliputi kebutuhan sang mempelai wanita, seperti kosmetik dan perhiasan.
Mengikuti adat, ditambahkan bahan kebaya dan beberapa kain jarik dengan motif berbeda.
Ada pula kue tradisional, perlengkapan ibadah, kebutuhan pokok, peralatan rumah tangga ... semua dikemas cantik dalam kotak transparan yang dihiasi bunga di atasnya.
Acara dilaksanakan di Pesantren Al-Firdaus. Puluhan santri dewasa dikerahkan untuk memindahkan seserahan dari Keluarga Hardiyata -yang banyaknya sampai memenuhi tiga mobil pickup- ke dalam pesantren.
"Wow, Anya, aku mendadak ngerasa jadi putri kerajaan yang dipersunting putra mahkota kerajaan seberang."
Aisyana takjub, geleng-geleng kepala, mengintip para santri yang hilir mudik tiada henti mengangkuti seserahan dari balik jendela kamarnya.
Di sebelahnya, Stevanya ikut ternganga. "Ini baru lamaran, Sus, belum seserahan nanti pas nikah." Gadis itu menoleh cepat, memegang kedua bahu Aisyana erat-erat. "Nanti pas acara, kalo lo ditanya mau minta mahar berapa, please jangan naif, minta yang banyak."
"Hah? Tapi, kan ... ish, Anya! Kata Mama, perempuan yang baik itu yang gak matre perkara mahar."
"Ck, khusus laki lo beda. Lagipula, emangnya lo perempuan baik?" Stevanya masih saja suka mengatai Aisyana.
"Seenggak baiknya seorang Aisyana Daisy, yang namanya Stevanya lebih low quality. Gak laku, huh!" Dan Aisyana tidak pernah membiarkan dirinya ditindas. Selalu harus membalas.
Hm, ya, terpantau keduanya memang sahabat paling harmonis abad ini.
Aisyana geleng-geleng kepala, prihatin. "Anya, kayaknya kamu dijual eceran pun tetep gak ada yang mau."
"Bodo, peduli amat, Sya. Lo tau, kalo eceran gue laku, udah dari dulu jantung, paru-paru, hati, sama ginjal gue ilang dijual bokap buat pasien." jawab Stevanya acuh tak acuh.
Aisyana terkikik geli, memeluk lengan Stevanya. "Iya deh, yang anaknya bapak dokter."
Percakapan mereka terinterupsi oleh kaca jendela Aisyana yang diketuk dari luar. Stevanya menyingkap gorden. "Raja? Lo ngapain di sini?" Dibukanya kaca jendela itu.
Raja menyusupkan kepala dan setengah badannya di celah jendela. "Syayang, Kakak dateng nengok lo sebelum status jomblo lo diiket sama Yusuf si laknuat."
"Yee sembarangan ngatain orang laknuat. Dipikir situ yang ngintip ke kamar mempelai wanita mulia kali, ya?!" sergah Stevanya.
Raja melirik malas, "Nona kaya raya, tolong diam, hamba sahaya tidak ada urusan meminjam uang pada Nona."
"Tolol!" Tak segan-segan Stevanya melontarkan umpatan.
Lirikan Raja berubah menjadi delikan. Lelaki itu menoleh pada Aisyana. "Syayang, lo betah bertemen sama dia? Ceraikan dia, Syayang! Ayo cepet, sebelum lo tereliminasi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden's Next Journey
Teen FictionKe Dataran Utara China, seorang keturunan ningrat Tanah Jawa yang akrab disapa Raden -sebagai gelar kehormatannya, melarikan diri dari pertikaian keluarga tentang pewaris tahta. Di sana, Raden mengikuti kegiatan open trip, lalu bertemu dengan gadis...