Surabaya, H-3.
Aisyana keluar kamar pukul 14.45, gadis itu baru bangun bobok siang, hanya memakai babydoll dress tanpa lengan.
Sembari menenteng boneka beruang, Aisyana celingukan melihat rumah yang tampak sepi.
Rumah ini hanya satu lantai, namun cukup luas dengan tiga kamar tidur yang sudah difasilitasi kamar mandi masing-masing.
Arsitektur Japanese-nya menawarkan kenyamanan. Welcome, tapi tetap private. This is a home, just not a house.
Di sinilah Aisyana dan Arjuna tumbuh dalam limpahan kasih sayang Aba Afkar dan Mama Aina yang tidak pernah ada habisnya.
Aisyana menuju dapur, ternyata sang mama sedang berdiskusi perihal konsumsi walimah dengan dua mbak abdi ndalem.
"Astaghfirullah, Sya, bajunya." Mama Aina geleng-geleng kepala melihat penampilan putrinya. "Mbak, selama Ning Sya di rumah jangan ke sini dulu, ya. Kalau ada apa-apa kabari pas Umma ke pesantren."
"Nggih, Umma." Kedua mbak abdi ndalem itu pamit.
Umma. Ya, sejak kakek dan nenek Aisyana wafat, Mama Aina dipanggil begitu oleh para santri.
Aba Afkar anak tunggal, bagaimana pun kepengurusan pesantren harus beliau yang mengambil alih. Tidak mungkin juga kalau terus dipanggil gus dan ning seperti sebelumnya.
"Di kulkas ada pudding stroberi, Sya." ucap mama.
Aisyana sedang sibuk memperhatikan banyak bingkisan yang ada di dapur. "Mama, tadi ada tamu yang kondangan duluan, ya? Gak sempet dateng pas acara?"
"Bukan, itu tadi ada yang ke sini nanyain kamu," jawab mama sembari mengambil pudding stroberi dari dalam kulkas.
"Nanyain Sya? Kenapa?"
"Mereka kira kamu belum terikat orang, Sya. Eh, malah sudah mau nikah."
Aisyana melongo, "Maksud Mama, mereka ke sini mau ngelamar gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden's Next Journey
Teen FictionKe Dataran Utara China, seorang keturunan ningrat Tanah Jawa yang akrab disapa Raden -sebagai gelar kehormatannya, melarikan diri dari pertikaian keluarga tentang pewaris tahta. Di sana, Raden mengikuti kegiatan open trip, lalu bertemu dengan gadis...