01. Bandara Beijing

1.1K 88 1
                                    

Beijing, 2 bulan lalu.

Aisyana, gadis dengan mantel tebal khas musim dingin serta penutup kepala model beruang itu menangis sesenggukan karena punggungnya baru saja kena tendang seorang lelaki berkaki kuda.

Gila saja. Aisyana sedang berjongkok untuk memperbaiki tali sepatunya yang lepas. Tiba-tiba punggungnya ditendang. Dikira dia ini botol bekas di jalanan apa, ya?

"Dek, Om minta maaf. Aduh, jangan menangis di sini. Orang tuamu mana?" ucap si penendang merasa bersalah. Yusuf namanya.

"Den, iya kalau dia orang Indonesia, kalau bukan? Mana ngerti dia?" ucap Danang yang berdiri di belakang Yusuf.

Benar juga, sekarang ini mereka sedang berada di bandara luar negeri. Banyak orang di sini. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia.

Anak ini ... aih, Yusuf tampak gusar karena sudah membuat anak orang menangis. Tadi dia memang berjalan terburu-buru sampai tidak sengaja menendang punggung gadis kecil ini.

Tapi, ayolah, ini bandara. Ramai sekali orang di sini. Semua sibuk. Lagipula orang tua mana yang sampai teledor meninggalkan putrinya seorang diri? Kalau diculik, bagaimana?

"Den, mau ditunggu?"

"Masa iya kita tinggal sendiri?"

Seorang gadis lain berlari tergopoh-gopoh menghampiri gadis yang sejak tadi menangis sembari menelungkupkan wajahnya di lutut itu.

"Susanti, lo ngapain BAB di situ? Ah elah, tadi diajakin ke kamar mandi gak mau, sekarang ditinggal bentar malah berak di sini?!" omel gadis yang baru datang sembari berkacak pinggang.

"Oh, namanya Susanti, Den. Orang Indonesia. Gadis ini sepertinya kakaknya."

Gadis galak itu melirik lelaki yang baru saja berceletuk seenaknya.

Aisyana mengangkat kepala, wajahnya sudah memerah karena menangis. "Anya, kamu tega banget! Punggungku abis ditendang kuda tau!"

Stevanya, Aisyana biasa memanggilnya Anya. "Oh, mana kudanya? Yang ini bukan?" Stevanya menunjuk lelaki yang tadi berceletuk. "Atau yang ini?" lanjutnya berganti menunjuk lelaki yang tepat berada di belakang Aisyana.

Dengan mata berairnya, Aisyana memperhatikan satu per satu dua wajah asing itu. Saat matanya menatap mata hitam dengan gradasi coklat terang di tengahnya, bibir Aisyana yang sejak tadi mewek terkatup rapat.

Aisyana seperti ditarik kembali pada masa yang sangat jauh. Masa yang tidak bisa dia jangkau, namun terasa begitu dekat bersamaan.

Aisyana perlahan bangkit. Berdiri tepat di depan lelaki yang hanya bisa dia lihat sebatas dada jika tidak mendongakkan kepala. Tinggi sekali!

"Maaf ya, Dek, Om benar-benar tidak sengaja. Orang tua kalian di mana?"

Stevanya mengerjapkan mata berkali-kali. Dia terperangah. Dek katanya? Orang tuanya mana? Dikira dia bocah?

Segera Stevanya menarik tangan Aisyana agar berdiri di belakangnya. "Bilang, Sus, lo ditendang di bagian mana? Biar gue yang bales."

Aisyana cemberut kesal. Dasar mulut Stevanya. Ringan sekali memanggilnya Sas Sus-Sas Sus. "Punggungku udah gapapa. Tapi liat ini ... "

Aisyana menjulurkan tangannya, memperlihatkan sebuah robot kecil berbentuk panda. "Pas aku ketendang Mao-nya ikut jatuh, terus ketimpa badanku. Rusak, Anya! Mao-ku rusaaak! Huwaaa!"

Astaga, jadi sejak tadi gadis ini memeluk mainannya? "Berapa harga mainannya? Om ganti."

Yusuf menyuruh Danang mengeluarkan dompet. Itu benar dompet miliknya, hanya saja membawa dompet bukan tugasnya. Tugas Danang sebagai asisten.

Raden's Next JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang