"Lo tahu nama gue?"
Hah?
Karin mengerjap, seperti ada sengatan listrik di jantungnya. Rasa ini benar-benar aneh.
"Hei, lo nggak papa, kan?" Pocong itu menurunkan pandangan, sedikit mendekat ke Karin yang cengo.
"Iya, nggak papa." Karin salah tingkah. Jemarinya saling bertautan, tatapan matanya mencar ke segala arah. "Gue ... cuma nyasar. Nggak kenapa-napa, kok."
"Nyasar?" Pocong itu mengernyitkan dahi, kemudian tersenyum lagi. "Administrasi di sini memang buruk. Pas pertama gue dateng aja, tempat tinggalnya belum disiapin."
"Tempat tinggal? Lo nggak berasal dari sini?" Kesadaran Karin berangsur normal, meski jantungnya masih jedag-jedug.
"Gue dateng dari Digiu, ibu kota Pokuntugen." Pocong melompat dua kali, sorot matanya berpindah ke nisan di belakang Karin.
Cewek itu membalikkan badan, lalu melihat nama yang tercetak di sana. "Ganteng Rupawan. Itu nama lo?"
Ganteng, pocong yang memang ganteng itu mengangguk. "Iya. Lo bisa panggil gue Pogan, karena ... tahulah, gue pocong. Ini kamar asrama gue. Kamar lo di mana? Sebentar lagi tengah hari, bakal ada petugas keamanan yang patroli. Kalau ketahuan ada di luar, lo bisa dapet hukuman."
Karin tidak bisa memberi jawaban. Sekarang otaknya tengah mencerna kalimat yang Ganteng ucapkan. Di gerbang terpampang jelas kata perumahan, tetapi ternyata ini asrama.
"Gue belum punya asrama."
Hempasan angin menerpa wajah Karin, beberapa dedaunan terbang ke arahnya. Tidak sempat menghindar, mata cewek itu kemasukan debu.
Bergegas, Karin menutup mata. Butiran bening sudah mengucur saja. Dia mengusapkan jemari ke kelopak mata yang tertutup.
"Diem! Jangan bergerak!"
Karin menurut pada suara berat Ganteng. Tangannya berangsur turun.
Apa pocong ganteng itu mau meniupkan separuh napasnya ke mata Karin?
Tentu, jawabannya tidak.
"Tutup mata lo, jangan mikirin apa pun!"
"Hah?" Padahal Karin sudah membayangkan adegan romantis loh ... tapi, dia merasa tangannya digenggam!
Oke. Itu masih masuk kategori romantis. Kemudian, udara dingin menyusup ke tubuh cewek itu beberapa detik.
Hanya sebentar. Lalu, suhunya kembali normal.
Jelas, Karin ingin tahu apa yang baru saja terjadi. Dia bergegas membuka mata dan langsung terkejut.
"Kita di---"
"Shuuut! Jangan bersuara." Ganteng meletakkan telunjuk di bibir, kepalanya mendongak, menoleh ke satu sisi seolah sedang mengawasi.
"Ada apa?" Karin berbisik.
"Petugas keamanan dateng. Mereka masih di gerbang. Kalau ketahuan, kita bisa celaka."
Karin ikut berpaling, menoleh ke arah tatap Ganteng. Tampak dua genderuwo dengan tongkat di tangan tengah berjalan sambil menoleh ke sekitar.
"Gimana cara lo bawa gue teleportasi?" Karin bertanya, kembali menghadap Ganteng.
Sekarang, di sisi pohon beringin yang berlawanan arah dari petugas keamanan, Karin dan Ganteng bersembunyi.
"Lo ... beneran nggak tahu?" Ganteng balik bertanya. "Apa lo dateng dari tempat yang lebih primitif dari kota ini? Menurut data yang dikeluarin Menteri Perekonomian 2 bulan lalu, Kota Hetyu adalah yang paling miskin di Pokuntugen. Apa data itu nggak valid?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Banyak Tingkah
FantasyKarin tidak takut hantu. Tapi kalau hantunya banyak, dia bisa berubah pikiran. Suatu malam, Karin terlempar ke dalam cerita horor komedi buatan adiknya. Dia berubah menjadi kuntilanak dan bertemu Chani, pocong tengil berpipi chubby, yang bernasib s...