34. Kata Hati

719 117 21
                                    

Perang kecil-kecilan berakhir, tidak sesuai ekspektasi Chani. Tak apalah. Hidup memang seperti itu. Banyak ekspektasi yang tidak sesuai realita. Chani ikhlas menerimanya.

Para pocong dan tuyul tiba di pinggiran danau. Karin beserta dua penonton setia bergabung dengan kerumunan.

"Eh, kalian mau nonton kembang api, nggak?" Manz bertanya, para tuyul berseru kegirangan.

"Mau, mau, mau!"

"Kembang apinya yang banyak, ya!"

"Aku mau yang warna merah!"

"Aku hijau!"

"Aku biru!"

Di bawah pohon rindang, tukang bakso yang sebelumnya melamun, secepat kilat mengubah barang dagangannya menjadi kembang api.

"Yuk, dibeli, dibeli, kembang api murah meriah, satu batang cuma 15 KHS!" Mantan penjual bakso berseru dengan wajah berseri-seri.

Tuyul-tuyul langsung berlarian, mengerubungi gerobak kecil penuh tumpukan petasan berbagai jenis itu.

Sebagai anak tunggal dari tabib sekaligus biro jodoh paling terpercaya di Kota Hetyu, Manz sangat mampu membeli seluruh petasan berikut gerobaknya.

"Saya anak dari Mbah Zigong. Besok malam Bapak ke sana aja, minta uangnya sama papa saya. Oke?"

"Kalau sekarang aja bisa, nggak? Saya udah kebelet kaya, nih." Si penjual petasan nyengir.

"Terserah Bapak aja. Yang penting harganya jangan kemurahan. Nanti papa saya sedih."

"Oke, siap. Saya pergi sekarang, ya!" Penjual petasan menghilang dari hadapan semua hantu.

Chani mendekat ke gerobak, mengambil satu bungkus petasan kembang api kecil. Dia mengeluarkan isinya, memberi dua bagian pada Karin.

"Biar romantis kayak di film-film, kita main kembang apinya sambil duduk di bangku itu, yuk!" Chani menunjuk bangku yang menghadap ke danau.

Bukan Karin yang menerima kembang api ulurannya, melainkan seekor tuyul bergigi kelinci. "Ayo, Kak. Aku mau ke kursi deket danau itu!"

Chani ditarik-tarik oleh si tuyul, hingga terpaksa kehilangan momen dengan Karin.

Saat semua pocong di sana tampak keren, menyalakan kembang api besar yang mewarnai langit, Chani hanya duduk dengan memegang kembang api kecil.

Tuyul di sebelahnya cekikikan, mengayunkan kaki gemas. "Kakak, nama aku Jeffrey."

"Nggak nanya."

Si tuyul menepuk bahu Chani. "Nama Kakak siapa?"

Chani manyun, tatapan tak bernyawa miliknya tertuju pada kembang api yang hampir redup. "Dulu, nama gue Chani. Tapi, semenjak duduk di sini, nama gue berubah jadi Jones."

"Bagus." Jeffrey nyengir.

"Hah?" Chani akhirnya menoleh ke tuyul pengganggu itu.

"Nama Kakak bagus. Sesuai dengan bentuk badan Kakak yang mirip risoles." Jeffrey tertawa kecil.

Mata kiri Chani berkedut, dalam diam membatin, "Kampret juga nih tuyul. Udah gue bela-belain duduk di sini nemenin, malah gue dikatain mirip risoles. Untung ada Karin, kalau enggak, udah gue lempar popok nih makhluk botak ke danau."

Hantu Banyak Tingkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang