Chani tidak memercayainya. Cowok itu hanya tersenyum, kemudian mengacak rambut Karin gemas.
"Lebih masuk akal kita terseret ke dunia lain daripada masuk novel. Lo pernah denger soal dunia paralel? Gue yakin kita lagi ada di dimensi lain. Kita cuma perlu nyari di mana portal dimensi itu berada."
Karin mengentakkan kepala ke sofa di asrama Ratna. Si pemilik asrama itu sudah tertidur di dalam peti, Karin tidak berniat membangunkannya hanya untuk curhat.
Karin sangat perlu teman bicara. Semua hal yang terjadi di Kota Hetyu, katanya tidak terjadi di kota lain.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
"Argh!" Karin berteriak parau sembari mengacak rambut. Dia duduk, lantas menabrakkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Kenapa? Kenapa? Dan, kenapa?"
Karin mengingat semua yang diucapkan Chani. Peraturan yang memberatkan para hantu laki-laki dibuat oleh Madam Jennifer atas dasar sakit hati.
"Kamu mau tahu jawabannya?"
"Bukankah semua ini tampak menyenangkan?"
Deretan pertanyaan itu merasuk ke otak Karin, membuat kepalanya berdenyut. Tidak. Kali ini Karin tidak akan kabur. Dia akan menghadapi siapa pemilik suara itu.
Karin menutup mata, kemudian membukanya perlahan. Dia tak lagi ada di ruangan penuh lemari.
Sekarang, semuanya gelap seperti hamparan tanah luas tanpa ujung. Hanya ada seberkas cahaya yang menyoroti sekitar Karin layaknya lampu sorot pemain opera.
Suara tawa anak kecil terdengar.
"Siapa kamu?" Karin menggigit bibir, mengumpulkan keberanian. Hal yang paling dia takuti adalah kegelapan.
Karin bisa berpura-pura kuat saat ada orang lain. Namun, saat sendiri dia tidak mampu bertahan.
Keringat dingin membasahi tubuh cewek itu. Suara tawa muncul bergantian dari berbagai arah. Karin menutup telinga, duduk, lantas meringkuk.
Sofa yang didudukinya lenyap. Peti mati Ratna tidak terjangkau oleh indra penglihatan.
"Kamu mau pulang?"
Karin mengangguk tanpa berpikir dua kali. "Iya, aku mau pulang!"
Bibir Karin bergetar. Mendadak tubuhnya sulit digerakkan. Satu-satunya cahaya yang menjadi tempatnya berlindung menghilang.
Tidak ada satu pun benda yang dapat Karin tangkap melalui matanya yang terbuka. Keringat mengucur deras di pelipis, napas yang berantakan membuat dadanya naik turun.
"Nggak! Jangan pergi! Aku mau pulang! Aku nggak mau ada di sini!"
"Kak! Kakak!" Seseorang datang, mengguncang tubuh Karin. "Kak bangun, Kak!"
Karin mengerjap, semua kegelapan sirna. Matanya masih membulat, tak menyangka atap kamarnya menjadi benda pertama yang dia lihat.
Apakah dia sudah kembali?
Jika, iya, bagaimana dengan Chani?
Karin bangkit, menoleh ragu pada Febri yang tampak ketakutan.
"Kakak mimpi buruk?" Febri bertanya, kepalanya sedikit menunduk, mencuri-curi pandang ke arah Karin.
"Enggak." Karin menelan ludah. "Keluar dari kamar ini!"
Febri tak menjawab. Dia mengambil langkah untuk keluar.
Karin meraih ponsel di atas meja kecil. Jam menunjukkan pukul 06.14. Dia telat bangun.
"Semua itu cuma mimpi buruk. Nggak ada Chani. Dia cuma orang random yang datang ke mimpi." Karin menenangkan diri. Turun dari ranjang, menemukan Febri masih berdiri di ambang pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Banyak Tingkah
FantasyKarin tidak takut hantu. Tapi kalau hantunya banyak, dia bisa berubah pikiran. Suatu malam, Karin terlempar ke dalam cerita horor komedi buatan adiknya. Dia berubah menjadi kuntilanak dan bertemu Chani, pocong tengil berpipi chubby, yang bernasib s...