46. Definisi Bahagia

533 89 5
                                    

Fajar tampak di langit sebelah timur. Keenam remaja dalam balutan jaket berdiri di halte menunggu bus antar kota.

Pakaian mereka sudah rapi, tidak seperti hantu-hantu Hetyu lagi. Karin dan Chani bahkan sempat lupa kalau mereka tengah berada di dunia hantu, karena tampilan mereka yang sekarang menyerupai manusia.

"Les lo gimana?" Ratna memeluk tubuh sendiri, Bima yang ditanya menoleh.

"Tenang aja. Jadwalnya bisa diatur ulang." Hantu cowok itu tersenyum. "Gue nggak pernah liburan ke luar kota, sekali-kali, boleh, kan?"

Anggukan gemas Ratna menghentikan pembicaraan mereka.

"Gue masih ngantuk." Chani menguap lebar, menepuk pundak Karin yang berdiri di sebelahnya. "Boleh nyender bentar?"

"Enggak." Karin menepis tangan Chani, memelototinya sebal.

Chani langsung mengembuskan napas panjang. "Kalau di lo, boleh nggak?" tanyanya pada Ganteng.

"Enggak."

Manz segera tertawa.

"Apa, sih, preman? Hobi banget ngetawain gue?" Chani melirik sinis, Manz hanya mengedikkan bahu tak peduli.

"Rin, ngomong-ngomong, baju couple kita bagus, ya? Vibe-nya kayak orang pacaran lagi liburan bareng." Chani kembali menggoda Karin yang tampaknya malas menanggapi.

"Rambut lo juga bagus banget dikuncir kuda gitu." Chani terus mencari topik. "Nggak kayak kuntilanak lagi."

Mendengar kata kuntilanak, Ratna yang sedang memainkan jemari Bima segera menginterupsi, "Oh, iya. Nanti kalau sampai ke Kota Krimiu dan kota-kota lain, jangan panggil nama pakai tambahan kun- sama po-,  ya! Langsung panggil nama aja. Di luar sana nggak ada istilah pocong sama kunti-kuntian. Jadi, diinget-inget, ya! Biar kalian nggak dikira anak baru keluar dari hutan belantara."

Chani tertawa. "Buset, dah, hutan belantara. Emang dikira kita keturunan gorila?"

"Ya, enggak." Ratna memasukkan tangan ke saku jaket, mengambil tiket yang dibelinya kemarin. "Hantu-hantu di luar kota emang suka nyebut Hetyu sebagai hutan belantara sama kota terkutuk. Mereka ngiranya kita masih hidup primitif, ya ... walaupun ada benernya juga, sih."

"Menurut gue, nggak terlalu primitif. Di sini ada listrik dan alat-alat dapurnya juga oke. Gue bisa masak dengan mudah." Chani nyengir.

"Ya, iyalah, mudah. Masaknya aja telor doang." Karin mencibir.

"Ya, kan, nggak ada yang jual lobster. Kalau ada, juga bakal gue masakin buat lo."

"Jangan ribut, jangan ribut!" Ratna menengahi. "Kebetulan banget, Papa gue suka makan lobster. Nanti kalian harus mampir ke rumah gue dan makan lobster ramai-ramai. Gimana? Setuju, nggak?"

"Kalau gini, siapa yang mau nolak?" Chani mengelus perut, membayangkan lobster-lobster nikmat masuk ke sana, dan dicerna dengan baik.

Ratna tertawa bahagia. Akhirnya, Chani tidak kasar padanya lagi. Cewek itu segera membagikan tiket. Bus bewarna biru dengan atap merah tampak mendekat, berhenti persis di depan mereka.

"Sambil masuk, sambil kasih tiketnya ke supir, ya!" Ratna masuk dulu, diikuti yang lain.

"Tayo-nya kasian ya, Rin?" Chani membiarkan Karin masuk setelah Bima, sementara dirinya mengekor persis di belakang cewek itu. Tidak boleh keduluan Manz atau Ganteng.

"Hah, Tayo? Bus kartun maksudnya?" Kerutan muncul di dahi Karin. Cewek itu menyerahkan tiket ke sopir.

Setelah Chani lolos dari verifikasi 5 detik, dia menjawab, "Iya. Lo nggak lihat atap Tayo ini warnanya merah?"

Hantu Banyak Tingkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang