"Ganteng!" Karin melambaikan tangan, lompat-lompat menunjukkan posisi dirinya.
Ganteng lekas tersenyum, berlarian ke dekat cewek itu, dan menyimpan ponselnya dalam saku.
"Jangan ngelamun!" Karin menepuk bahu Ganteng, mendekatkan wajah ke telinga cowok itu. "Kalau sampai lo ketinggalan rombongan, gue nggak tahu mau minta bantuan siapa. Lo, kan, bilang kalau di bab ini dan seterusnya, lo nggak tahu apa-apa, jadi, gue nggak mau lo jalanin alur cerita ini sendirian lagi."
"Iya. Nggak akan." Ganteng menatap Karin teduh. "Ayo, pergi. Mau beli minum, kan?"
"Enggak. Kita mau beli panci." Chani yang menjawab. Nimbrung agar dapat perhatian. "Gue pengin beli panci yang itu, Rin. Sama teflon juga. Buat kenang-kenangan." Jemarinya menunjuk.
"Jangan aneh-aneh deh! Pilih yang lain aja kalau mau buat kenangan. Panci bawanya susah." Karin menarik lengan Chani. Cowok itu memberontak, malah membawa Karin ke depan panci-panci yang bergantungan.
"Pak, beli panci kecilnya satu, sama teflon kecilnya satu."
"Yang ini?" Si penjaga toko, bapak tua dengan kumis tebal menunjuk salah satu panci. "Diameter 23, tingginya 16 cm."
"Iya, Pak."
"Oke, teflon ukuran paling kecil diameter 12, mau?"Chani mengangguk cepat. "Boleh, Pak. Nggak perlu tawar-menawar, langsung aja harga berapa?"
Penjual peralatan masak itu tersenyum manis pada Chani dan Karin. "Untuk pasutri baru seperti kalian, saya kasih diskon jadi 150 KHS aja."
"Pasutri?" Karin melirik Chani, cowok itu cengar-cengir.
"Jangan ngaku kita cuma temen. Lumayan, nih, mau dapet diskon." Chani menggeleng samar, mencegah Karin marah-marah dan klarifikasi.
Tak menunggu lama, Pak Tua kembali dengan panci dan teflon yang sudah dimasukkan ke paper bag bunga-bunga. "Ini saya kasih bonus spatula juga."
"Terima kasih, Pak." Chani tersenyum ramah, merangkul Karin agar terlihat lebih akrab.
"Semoga cepat diberi momongan, ya!"
"Iya, Pak. Terima kasih untuk doa baiknya."
Karin terpaksa ikut menyunggingkan senyum, pergi dari toko itu, masih dirangkul Chani.
Ganteng menyusul. Meskipun banyak pikiran aneh di kepalanya, cowok itu tetap menampakkan wajah tanpa ekspresi. Dia tidak ingin Karin mengkhawatirkan apa pun. Dia harus membuat keadaan tampak baik-baik saja, sampai Karin dan Chani tiba di Kota Misyu.
Bima dan Ratna kembali, datang dengan enam plastik es kepala muda.
"Udah, nih, beli esnya. Kita harus ke terminal sebelum ketinggalan. Kata pedagang di sebelah es tadi, sekarang ada bus ke Kota Misyu yang berangkat jam satu siang." Ratna membagikan es, lantas mengambil langkah lebih dulu.
"Manz di mana?" Karin menyadari cowok itu menghilang sejak dirinya diseret Chani.
Kelima remaja di sana langsung mengedarkan pandangan, bersama-sama menghela napas lega saat melihat Manz berjalan dari arah dalam pasar.
"Dari mana lo?" Ratna memberikan satu es pada Manz.
Cowok itu meminumnya segera. "Kamar mandi. Kebelet banget tadi. Mau ngomong, tapi kalian pada sibuk sendiri."
"Hehe, kapan lagi, ya, kan, gue bisa beli panci sama teflon imut-imut menggemaskan gini." Chani mengangkat paper bag yang tampak gendut. Panci dan teflon terlihat jelas ada di sana, bahkan ujung spatula pun mencuat.
"Emang aneh lo, Mbul!" Manz menggeleng, menyibak rambut sambil mematri langkah, mengikuti jejak Ratna dan Bima.
Mereka berjalan di sepanjang trotoar, melewati berbagai gedung tinggi, tidak jauh berbeda dengan suasana kota di dunia nyata. Semua hantu juga memakai pakaian dan kendaraan yang sama seperti manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Banyak Tingkah
FantasyKarin tidak takut hantu. Tapi kalau hantunya banyak, dia bisa berubah pikiran. Suatu malam, Karin terlempar ke dalam cerita horor komedi buatan adiknya. Dia berubah menjadi kuntilanak dan bertemu Chani, pocong tengil berpipi chubby, yang bernasib s...