37. Tentang Cita-cita

29 9 5
                                    

"Gue juga mau jadi duyung." Ratna mengerucutkan bibir, sangat gemas di mata Bima.

"Ya, udah, tinggal minum ramuannya."

"Bareng sama lo." Ratna menatap manja. Bima jelas tidak bisa menolak. Cowok itu membawa Ratna duduk di salah satu batu, lalu membukakan botol ramuannya.

"Nanti kalau gue ke Kota Misyu, lo harus kangen!"

"Pasti."

Karin berdecak lirih, raut wajahnya benar-benar tidak menunjukkan rasa bahagia. Melihat keromantisan adalah hal yang Karin benci.

Tidak berselang lama, kepala Chani yang sempat hilang muncul ke permukaan. "Seru banget! Barusan gue ngomong sama cupang."

"Ya kali cupang bisa hidup di air panas." Karin tidak memercayainya. "Emang tubuhnya nggak mateng?"

"Enggak." Chani mengusap air di wajah. Rambut yang berantakan dia sisir ke belakang dengan jemari. Kaos putih menempel ke kulit tubuhnya, menunjukkan seberapa bidang dada cowok berpipi tembam itu.

Lagi, Karin merasa Chani cukup menawan untuk dijadikan model iklan sampo.

"Cupang itu beneran ngomong sama gue. Dia bilang, gue mirip ikan buntal." Chani merangkak dengan bantuan dua tangan, mendekat ke Karin yang tampaknya tidak berani meminum ramuan duyung.

"Rin!" Chani duduk menyender di salah satu batu. "Beneran seru banget. Ayo, nyemplung! Lupain semua hal yang bikin kepala lo pusing. Anggap hari ini sebagai liburan lo yang sebenernya."

Karin memerhatikan botol kecil di tangan dengan saksama. Manz sudah berubah menjadi duyung, mengusik Ratna dan Bima yang hendak pergi ke bawah air terjun.

Ganteng pun bergabung, mengesampingkan gengsi yang sedari tadi mengganggu. Hantu itu diam-diam menyelam ke bawah, menghilang dari permukaan.

"Karin!" Chani kembali mengudarakan nama cewek yang masih saja berdiri diam. "Lo tahu nggak, kenapa gue bisa suka sama lo tanpa pernah lihat wujud lo sebelumnya?"

Karin menunduk, menatap Chani dengan mulut bungkam. Apakah cowok itu mau menggombal lagi?

"Karena kata Febri, lo itu sosok Kakak yang nggak akan pernah tergantikan di hidup dia."

"Yakin lo, Febri ngomong gitu?" Karin merasakan sensasi aneh menyerang hatinya. Entah kenapa, butiran air bening mendadak terkumpul di pelupuk mata.

Karin tidak percaya adiknya mengatakan itu.

Chani mengangguk. "Febri bilang, lo selalu nempatin kebahagiaan dia di atas kebahagiaan lo sendiri."

Senyuman kecil muncul di bibir Karin. Cewek itu butuh mendengar lebih banyak.

"Dia bangga punya Kakak kayak lo. Sosok perhatian dan selalu ada di setiap adiknya butuh bahu buat sandaran. Meskipun lo jutek dan sering usil, tapi Febri tahu kalau lo sayang banget sama dia."

Karin benci pada air matanya yang meluncur ke pipi. Cewek itu buru-buru menghapusnya.

"Nggak papa nangis. Itu nggak bikin lo jadi lemah." Chani tersenyum hangat. "Lo masih tetep Karin yang kuat, sekalipun galau lima jam di pelukan Bebeb Chani."

Karin tertawa kecil.

"Pertama kali ketemu lo di dunia ini, gue pikir lo bukan Karin yang Febri ceritain setiap hari ke gue. Tapi, setelah lo tiup kepala gue yang nabrak batu nisan, gue jadi percaya kalau lo beneran Karin." Chani menggoyangkan ekor duyungnya satu kali. "Tanya dong, kenapa?"

Karin jongkok. Sengaja menyejajarkan tingginya dengan Chani yang sudah tidak bisa berdiri. "Kenapa? Karena gue yang badannya spek terompet hajatan ini nolongin lo?"

Hantu Banyak Tingkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang