08. Tanggung Jawab

1.5K 199 16
                                    

Sikap Chani yang terlalu tenang, berkali-kali membuat Karin yakin cowok itu sebenarnya pintar. Entah pintar berpura-pura bodoh, atau pintar membuatnya marah.

Keduanya punya porsi sama.

Karin berhasil memendam amarah. Daripada energinya habis untuk bertengkar dengan Chani, lebih baik melanjutkan perjalanan. Teko di rumah Pak RT akan menjadi barang pertama yang Karin sambar saat dia tiba nanti.

Lupakan sejenak misi dari Presiden, Karin perlu air untuk mengobati dahaga selama perjalanan.

Chani terdiam. Instingnya mengatakan jika Karin tidak boleh diajak berbicara sampai waktu yang belum ditentukan. Bibir cewek itu manyun, belum mundur sejak jawaban jujur Chani mengudara.

Hening bukan susana yang cocok untuk cowok banyak bicara seperti Chani. Bibirnya benar-benar ingin bergerak, membuka mulut agar suara yang dia tahan sedari tadi didengar oleh telinga Karin.

Chani ingin meminta maaf.

Tak berselang lama, sebuah panggilan muncul. Memecah keheningan yang Chani benci.

"Kak Pocong! Kak Kunti aku lupa namanya!"

Karin dan Chani menoleh ke sumber suara. Tampak sesosok tuyul yang menggendong tas rajut berlarian ke arah mereka.

"Tuvin!" Karin dan Chani antusias. Langsung lupa kalau mereka sedang marahan.

Kevin memeluk kaki Chani dan Karin bergantian. "Hehe, kita ketemu lagi. Nama Kakak siapa, ya?"

"Karin, panggil aja Kunrina." Karin tersenyum hangat.

"Kamu baru pulang sekolah?" Chani jongkok perlahan, demi menyamakan tingginya dengan Kevin.

Kevin mengangguk, menoleh ke Karin yang juga sudah jongkok. "Maaf, ya, Kak. Tadi pagi Kakak dikira mau nyulik aku. Padahal Kakak udah anterin aku pulang."

"Nggak papa." Karin mengusap kepala plontos Kevin dengan lembut. "Kamu sekolah kelas berapa?"

"Masih THK." Kevin tersenyum. "Taman Hantu-hantu Kecil."

"Mmm, sekolah di sini gimana? Maksudnya, ada sekolah apa aja?" Chani tersenyum. Kevin tampak imut sekali dan suaranya lucu.

Karin juga lucu. Walaupun hobinya marah-marah. Sepertinya, Chani akan suka berada di sekitar cewek itu.

Hanya bertahan sebentar, senyum Chani harus pudar saat tubuhnya terjengkang, didorong oleh Karin. "Heh, lo pikir dia tahu soal gituan. Dia masih bocil."

Chani mengaduh. "Nanya doang, elah. Kalau dia nggak tahu juga nggak papa. Iya, kan, Vin?"

Di luar dugaan, Kevin justru menjawab, "Aku tahu. Di sini ada sekolah THK, SD, SMP, dan SMA. Nanti setelah lulus semua itu, aku mau masuk perguruan tinggi di Kota Digiu. Katanya di sana banyak benda-benda keren. Aku pengen pergi ke sana kalau udah besar."

"Nah, itu dengerin! Jangan langsung nyerang tanpa tahu faktanya." Chani berusaha bangkit, gerakannya mirip cacing kepanasan.

Karin langsung ngakak, terjatuh di atas aspal. Dia berniat membantu, tetapi tenaganya sudah menyusut beberapa persen karena tertawa.

"Woi, bantuin! Jangan ngetawain aja lo!" Chani mendorong kakinya ke bahu Karin, berharap cewek itu sadar jika dia butuh bantuan secepatnya.

"Iya, maap. Habisnya lo gerak-gerak terus, sih. Kayak ulat bulu tahu." Karin tanpa merasa berdosa melanjutkan tawa.

Beruntung sebelum Chani hilang kesabaran, sesosok kunti yang wajahnya tampak tua membantunya bangkit.

"Terima kasih, Ibu." Kevin juga ikut-ikutan membantu Chani, walaupun cuma memegang ujung kafan yang ada di kepala cowok itu.

Hantu Banyak Tingkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang