Di ruangan minim pencahayaan, sebuah langkah kaki bergerak berirama, mendekat ke pria berahang tegas yang duduk di kursi kerja.
"Bagaimana hasilnya?" Suara berat itu menyapa, remaja yang baru tiba memberi tatapan datar.
"Yang perempuan." Jawaban si pemuda menggema di ruangan kecil itu. "Saya yakin dialah yang selama ini Anda cari."
Senyum miring terbit di bibir, pria berahang tegas itu mengetuk-ngetuk ujung pulpen ke meja. "Alasannya?"
"Dia bisa masuk ke hutan terlarang, tanpa melewati gerbang utama."
Gerakan si pria terhenti. "Jadi, tunggu apalagi? Besok, kita bawa dia pergi dari sini."
"Tidak semudah itu." Si pemuda menyangkal cepat. "Dia berteman baik dengan Ratna, keponakan Madam Jennifer. Kalau sampai sesuatu terjadi padanya, Ratna pasti akan meminta bantuan Madam Jennifer. Selama kita masih ada di Kota Hetyu, kita tidak bisa melakukan tindakan apa pun. Kota ini ada di bawah kendali Madam Jennifer."
"Lalu, apa rencanamu?" Si pria berpostur tinggi itu berdiri, mematri langkah ke depan remaja yang masih setia berdiri dengan wajah tak berekspresi.
"Tetap pada rencana awal. Buat kedua manusia itu keluar dari kota ini."
---*---*---
Karin mengerjap. "Lo bilang apa? Barusan ... lo?" Cewek itu sampai tak bisa berkata-kata.
"Iya, gue tahu." Ganteng mengembangkan senyum. "Gue adalah tokoh fiksi dalam sebuah cerita. Gue tahu, kita hidup di dimensi yang berbeda. Lo mahkluk nyata dan gue cuma ilusi. Kita berbeda."
"Pogan?"
"Nggak papa." Ganteng masih tersenyum. "Ayo, pergi. Kita harus bicara."
Dengan wajah bingung, Karin meraih tangan Ganteng, memejamkan mata untuk merasakan sensasi dingin yang membawanya pergi ke suatu tempat.
Sebuah kafe yang berada persis di sebelah kedai es serbuk.
Suasananya tak jauh berbeda dari beberapa waktu lalu. Para tuyul tampak berlarian di taman, sangat bahagia meski wajah mereka penuh luka bekas sengatan tawon.
"Duduk dulu! Gue pesen minum buat kita."
Ganteng meminta Karin duduk di bangku teras kafe. Cowok itu masuk, tak berselang lama keluar dengan membawa nampan berisi dua cangkir cokelat panas.
Karin sedikit ngeri melihatnya, takut Ganteng terpeleset, kemudian jatuh saat melompat-lompat riang.
"Sini-sini, gue yang bawa." Karin buru-buru mengambil alih.
Keduanya duduk. Karin terdiam menunggu Ganteng memulai pembicaraan.
"Jadi, begini." Pocong itu memejamkan mata sekilas, menyingkirkan rasa gugup. "Udah beberapa kali gue mempertanyakan siapa diri gue sebenarnya. Gue lagi-lagi ada di dalam ruangan, ngerjain soal ujian, terus tiba-tiba nama gue keluar sebagai siswa yang dinyatain lolos seleksi program pertukaran pelajar."
Karin memerhatikan tanpa ingin menyela. Untuk sejenak, dia ingin menjadi pendengar, tanpa menyalahkan.
"Lagi-lagi, gue sampai di Kota Hetyu, ketemu lo, Chani, dan beberapa hantu lain." Ganteng mengembuskan napas lebih panjang dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Banyak Tingkah
FantasiKarin tidak takut hantu. Tapi kalau hantunya banyak, dia bisa berubah pikiran. Suatu malam, Karin terlempar ke dalam cerita horor komedi buatan adiknya. Dia berubah menjadi kuntilanak dan bertemu Chani, pocong tengil berpipi chubby, yang bernasib s...