Sedari melewati koridor panjang hingga tiba di depan ruang musik, Karin tak ada henti-hentinya menyipitkan mata untuk melihat luka di tubuh Manz.
Leher belakang, lengan kanan, pelipis kanan, bahkan sudut bibir kanan, sangat cocok dengan posisi bagaimana hantu di kelas tadi terjatuh.
"Ehem, dari tadi lirik-lirik terus. Suka, ya, lo sama pocong itu?" Chani menyenggol bahu Karin. Jelas, suaranya terdengar oleh Manz dan Bima yang berdiri di depan mereka.
"Pocong yang mana?" Manz menyahut.
"Yang ...," Chani menunjuk jarinya ke depan, lalu memutarnya ke arah sendiri saat Manz tampak akan tersenyum, "ini. Karin suka gue, lah. Nggak mungkin dia suka sama pocong modelan sumpit bakmi kayak lo."
Dengan kata lain, Chani adalah manusia, sedangkan Manz adalah pocong kurus. Dapat dipastikan Karin akan lebih menyukai makhluk yang satu spesies dengannya.
Manz membuang napas kasar, melirik sinis Chani. "Nggak usah sok kegantengan. Cowok kayak lo kalau ditinggal di ruang musik sendirian pasti langsung ngompol lima ember."
Karin dan Bima tertawa. Wajah Chani berubah masam. Pintu terbuka, mereka berempat masuk. Suasananya seperti di dunia nyata. Karin melihat ruang musik dengan tatanan yang mirip ruang musik SMA Neptunus.
Dia hafal, karena beberapa kali datang ke ruangan itu, menunggu Denis yang latihan bersama band-nya.
"Sebenernya gue bukan penakut. Tapi, karena piano di sini sering bunyi sendiri, gue jadi takut." Bima mengambil kardus ukuran sedang di kursi pemain piano. "Kalau tiba-tiba ada yang nyeret gue ke dunia lain, nanti nggak ada yang tahu. Makanya gue minta ditemenin."
Ruangan terang. Tiga pocong itu menggunakan pakaian normal seperti manusia. Tidak ada sensasi horor. Namun, entah kenapa bulu kuduk Karin berdiri, seolah-olah dikomando oleh pemimpin barisan.
"Kalian berdua murid baru, kan?" Manz duduk di salah satu bangku. "Kalian harus denger cerita ini, minimal sekali seumur hidup."
"Kalau kita nggak mau denger, gimana?" Chani masih ngambek.
"Tutup kuping, lah! Gitu doang pakai nanya." Manz menyunggingkan senyum miring.
Karin malas, tak ingin berlama-lama di tempat asing itu. "Pobim, urusan lo udah selesai, kan?"
Bima mengangguk. "Udah. Gue cuma ambil ini."
"Kalau gitu, gue sama Chani mau pulang."
"Lah, ceritanya gimana?" Manz bangkit dengan gerakan panik.
"Gue nggak mau denger." Karin balik badan.
Raut wajah Chani berubah ekspresi seketika. Dari bentuk macam kanebo kering, menjadi kanebo siap pakai.
"Ingat baik-baik, ya, kalian para pocong! Karin cuma mau temenan sama gue." Senyuman miring penuh ejekan menyertai Chani yang menunjukkan jempol ke bawah.
Belum juga Karin membuka pintu, lampu-lampu di seluruh gedung sekolah mendadak padam.
"Huwaaa!" Chani berteriak, melompat ke pangkuan Manz.
"Minggir!" Tangan Manz langsung saja mendorong Chani hingga jatuh ke lantai. "Hidih! Gini doang takut. Cowok macam apa lo?"
"Gue juga takut." Bima bersuara, wujudnya tak terlihat ada di mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Banyak Tingkah
FantasyKarin tidak takut hantu. Tapi kalau hantunya banyak, dia bisa berubah pikiran. Suatu malam, Karin terlempar ke dalam cerita horor komedi buatan adiknya. Dia berubah menjadi kuntilanak dan bertemu Chani, pocong tengil berpipi chubby, yang bernasib s...