Bukan novel romansa.
Adegan yang harusnya membuat hati berbunga-bunga, justru menjadi penyulut keributan antara Karin dan Chani.
Kedua hantu bau minyak telon itu saling jambak, terhuyung ke sana-kemari, hingga berakhir nyusruk di tanaman boxwood yang menjadi pagar salah satu rumah warga.
Karin berusaha bangkit, tetapi kepalanya seperti ditarik. "Chan, gara-gara lo rambut gue nyangkut, nih! Susah nariknya, woi!"
"Kafan gue juga nyangkut! Lo, sih, ngapain mau peluk-peluk gue segala!" Chani berhasil keluar dari kesengsaraan, membiarkan kafan yang nyangkut terlepas.
"Siapa yang mau peluk lo? Gue mau gampar wajah lo tadi. Cuma momennya aja nggak pas. Gue balik badan, lo maju. Ya, udah. Sekalian aja gue tarik pucuk kafan lo!" Karin terduduk, menepuk-nepuk baju barunya yang kotor.
Dia membencinya.
Chani mengulurkan tangan, Karin mendongak tak percaya.
"Maaf." Chani tersenyum tipis.
"Nggak ada yang lo mau dari gue, kan?" Mata Karin menyelidik, tangan Chani masih dia abaikan.
"Nggak ada." Chani meraih tangan Karin, menarik cewek itu berdiri. "Gue cuma mau balas budi."
"Balas budi apa? Gue nggak ngapa-ngapain?" Dahi Karin berkerut.
"Secara nggak langsung lo udah traktir gue makan enak. Gue tadi cuma mau ngomong itu." Tengkuk yang tidak gatal Chani garuk keras-keras. "Hmm, mau jalan nggak sama gue?"
Tawa kecil lolos dari mulut Karin. "Lo ngajak gue jalan di dunia nggak jelas ini? Masih waras?"
Tuh, kan, benar dugaan Chani. Dia sudah mengira akan dapat jawaban seperti ini, tetapi masih saja mengeluarkan pikiran anehnya.
"Daripada kita berdua tambah nggak waras, mending kita nikmati dulu hidup di sini sampai paket yang Pak RT tunggu dateng." Chani tersenyum canggung, lagi-lagi semua yang muncul di otaknya meluncur keluar tanpa bisa ditahan.
Karin kehabisan kata-kata. Mulutnya terbuka tanpa suara. Gelengan samar darinya membuat Chani mengulum bibir.
Cowok itu berhenti menggaruk tengkuk. Di bawah lampu jalan yang dikerubungi laron, Chani mendengar lirik lagu Rumah Singgah (Fabio Asher) dinyanyikan dengan suara merdu.
Apakah novel tidak jelas ini akhirnya memilih romansa sebagai genre utamanya?
Chani tidak yakin akan hal itu.
"Kunrina! Pochan!"
Kepala Chani dan Karin menoleh bersamaan ke sumber suara.
"Penampilan band-nya udah dimulai. Kalian nggak mau nonton?" Ratna berlarian kecil, berhenti saat tiba di sebelah Chani.
"Kalian denger suara itu, kan?" Mata Ratna berbinar, senyumnya merekah sempurna. "Itu suara Pobim. Merdu banget, kayak ngajak gue ke pelaminan."
"Lah, katanya dia bukan cowok lo?" Chani memungut kafan yang robek di berbagai sisi.
"Dia emang bukan cowok gue. Tapi, dia tunangan gue. Kita berdua dijodohin." Pipi Ratna memerah, kedua telunjuknya saling bertabrakan beberapa kali.
"Oh, ya, kata Papa dia bakal kirim uangnya besok." Ratna menoleh pada Karin. "Lo tenang aja. Papa gue bakal urus semuanya."
Karin mengangguk. "Makasih." Dia harus tersenyum meski ada perasaan tak nyaman yang menyerang hatinya.
Sosok ayah. Karin merindukannya. Selalu. Kenapa dia harus mendengar keharmonisan keluarga Ratna saat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Banyak Tingkah
FantasyKarin tidak takut hantu. Tapi kalau hantunya banyak, dia bisa berubah pikiran. Suatu malam, Karin terlempar ke dalam cerita horor komedi buatan adiknya. Dia berubah menjadi kuntilanak dan bertemu Chani, pocong tengil berpipi chubby, yang bernasib s...