Lampu disko berputar-putar ria di langit ruangan. Lilin menyala di berbagai sudut, gorden berwarna merah berterbangan diterpa angin.
Kota Hetyu punya listrik, tetapi rumah besar Madam Jennifer remang-remang. Positif thinking, mungkin lupa belum isi pulsa. Waktu tadi Karin tiba di teras, bunyi token listrik menyambutnya dengan ramah.
"Madam Jennifer, kami datang!"
Pak RT di barisan depan, berjalan mengendap-endap, diikuti Ganteng di sisi kirinya. Karin dan Chani di belakang, bergandengan, tidak tahu sejak kapan tubuh mereka saling merapat.
Baju kebangsaan pocong Chani sengaja cowok itu lepas, hanya menyisakan tali di atas kepala dan leher. Bisa dibayangkan sendiri seberapa aneh bentuk pakaian Chani sekarang. Dengan bangga, cowok itu merasa telah berubah menjadi vampir.
Karin menyebutnya vampir edisi compang-camping.
"Ini konsepnya gimana, sih? Disko bertabur horor, apa horor berlapis disko?" Chani bertanya. Entah kenapa, otaknya selalu aktif untuk hal-hal yang tidak berfaedah.
"Ck, nggak guna banget nanya gituan!" Meski kesal, Karin tetap menjawab, "Menurut gue, lebih cocok disebut persatuan dua sisi dunia malam."
Chani mengerutkan kening, nyengir setelah paham. "Pinter juga lo, Rin."
Karin mengibaskan rambut percaya diri. "Ya, iyalah pinter. Namanya juga disekolahin."
Karena konsepnya memang pujian, jadi Chani tidak ingin membahasnya lebih jauh. Kedua remaja itu diam, langsung tertegun saat menyadari mereka tertinggal rombongan.
Ada dua lorong yang sama-sama gelap di depan mereka. Cahayanya lebih remang dari sebelumnya. Hanya ada beberapa lilin gantung yang menerangi lorong itu.
Karin wajib menyalahkan seseorang. "Gara-gara lo nanya konsep ruangan ini, kita jadi ketinggalan! Pokoknya, gue nggak mau tahu, lo harus tahu mana jalan yang dilewati Pak RT sama Pogan!"
"Gue bukan cenayang. Mana bisa tahu mereka lewat mana." Chani mengelak.
"Harus tahu!" Karin mengalihkan pandangan. Deru napasnya terdengar lebih keras.
"Kanan aja, deh, kita cobain dulu. Nanti kalau salah, tinggal puter balik, terus coba yang kiri." Chani akhirnya memutuskan.
"Emangnya lagi main rumah kaca, bisa dicoba-coba?" Karin mencubit pinggang Chani, cowok itu menggeliat.
"Ya udah kalau lo nggak mau nyoba, gue aja sendirian. Lo tunggu di sini."
"Mana bisa gitu. Kalau gue diculik, gimana?" Karin mengubah tempat, berdiri di depan Chani.
Tubuh mereka saling berhadapan. Berbagai warna dari lampu disko bergantian menyoroti wajah keduanya.
Karin mendongak, satu tangannya tak mau terlepas dari Chani. "Gue ...," sebenarnya takut, "nggak mau lo kenapa-napa. Kita harus terus bersama sampai akhir."
Kedua sudut bibir Chani terangkat. "Kalau gitu, ayo kita masuk bareng-bareng. Lagian gue yakin seratus persen nggak akan ada hantu yang mau nyulik lo. Mereka pasti udah takut duluan sama ocehan lo yang mirip emak-emak. Belum lagi kalau mereka salah, beuh gue yakin para penculik itu pada mampus lo gamparin satu-satu."
"Terus, lo pikir lo bakal baik-baik aja setelah ngomong kayak gitu di depan gue?" Karin melotot, hidungnya kembang kempis.
Chani bergegas memegang kedua bahu Karin, memutar tubuh cewek itu agar kembali menghadap lorong gelap.
"Lo di depan, gue jaga di belakang." Sebenarnya, Chani juga takut.
"Oke." Karin menelan ludah, mengambil langkah pertamanya. "Jangan lepasin pundak gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Banyak Tingkah
FantasyKarin tidak takut hantu. Tapi kalau hantunya banyak, dia bisa berubah pikiran. Suatu malam, Karin terlempar ke dalam cerita horor komedi buatan adiknya. Dia berubah menjadi kuntilanak dan bertemu Chani, pocong tengil berpipi chubby, yang bernasib s...