Pagi yang buruk.
Dari semua pagi yang aku lalui di hidupku, pagi ini adalah pagi yang terburuk.
Bukannya bangun minum segelas air putih lalu setelah itu sarapan roti atau sepiring nasi goreng, aku malah memuntahkan semua makanan yang tersisa dalam perutku. Haissh kampret!
Aku menatap perutku sangsi. Anak nakal, masih dalam kandungan sudah menyiksaku sebegininya!
Kenapa dulu aku mau pas papamu ngajak bikin? Kenapa dulu aku percaya bahwa katanya kalau pakai pengaman pasti aman? Terus iki opo, kenapa bisa sampai jadi anak?! Kalau kamu lahir nanti, kamu harus ingat, kamu ada dunia ini karena kebaikanku yang kasihan melihat Mas Nata yang ialah seseorang laki-laki, punya hasrat.
Aku mendongak menatap pantulan diriku di cermin atas westafel. Muka bantal dan pucat, rambut gelombang terawatku kini berantakan seperti habis kena angin puting beliung, bibirku yang menyerupai bentuk love kini tidak imut lagi karena ada bekas muntahan, piyama kusut sana-sini. Belum lagi perutku yang rasanya seperti baju yang sedang diperas dengan keras. Sakit sekali sampai aku memejam sejenak. Begitu aku kembali membuka mata, cermin di hadapanku tidak lagi hanya menampilkan wajahku saja, tapi juga sang pelaku yang membuatku seperti ini.
Melihat wajah lempengnya dan juga tatapan tidak berminat dari mata yang berbingkai bulu mata lentik itu membuatku kembali muntah.
Mas Nata mendekat, mengumpulkan seluruh rambutku yang menjuntai ke depan untuk ia genggam dengan satu tangan. Menahannya di belakang tengkukku, lalu selanjutnya kegiatannya hanya menontonku muntah. Sungguh mulia!
"Kenapa?" tanya Mas Nata yang malah bikin aku makin keki.
Aku berbalik, menabok lengannya. "Pake nanya! Gara-gara anak kamu!"
Muntah lagi.
"Morning sickness?"
"Orang banyak tanya bibirnya jontor!" balasku di tengah-tengah kegiatan mengeluarkan isi perut.
"Cepetan, aku mau kerja." Nadanya datar, menyebalkan dan minta disumpal pakai sikat gigi yang habis dicelupkan ke kloset.
Aku menatapnya lewat cermin. "Hah? Serius kamu mau kerja hari ini? Hari dimana aku lagi parah-parahnya ngalamin gejala hamil ..."
"Iya."
Kampret!
"Kamu enggak ada hati nurani buat bantuin istri kamu sedikiiit aja gitu?"
"Ini." Mas Nata menggoyangkan tangannya yang masih memegang rambutku.
Aku cengo dibuatnya. Sejak kapan pegangin rambut dihitung kontribusi?!
"Udah kan?" tanya Mas Nata sambil hendak berlalu keluar kamar mandi.
Aku menatapnya protes. "MAS, KALAU KAMU PERGI KERJA HARI INI, KITA CERAI!"
___<(•_•)>___
Mas Nata benar-benar berangkat kerja hari ini.
Benaran tidak peduli aku di rumah bakal muntah-muntah sendiri, capek sendiri, tidak nafsu makan sendiri ...
Beneran tidak peduli dengan ancaman ceraiku. Walau memang aku hanya sok-sok-an bilang begitu padahal sebenarnya tidak berani cerai. Ya kali anak yang ada di dalam kandunganku udah broken home sebelum lahir sih? Tidak akan!
Padahal dia bekerja bukan sebagai bawahan, tapi dia adalah pemiliknya. Pemilik cafe yang cabangnya di mana-mana. Satu hari tidak bekerja tidak akan membuat Mas Nata tiba-tiba miskin.
Ya ya aku ternyata menikah dengan orang kaya dan jangan lupakan juga aku menikah dengan si lelaki berbulu mata lentik itu, Mas Nata. Orang yang tidak terlalu peduli dengan banyak hal. Bahkan hal-hal yang seharusnya penting.
Lagian mau berharap apasih?
Aku di mata Mas Nata hanyalah istri, partner tinggal bersama. Bukan istri, partner hidup bersama.
Selalu begitu.
Hampir setahun pernikahan ... tapi sikapnya tidak juga ada perubahan.
Haruskah nunggu bertahun-tahun dulu? Tapi ini Mas Nata, bertahun-tahun pun rasanya mustahil dia bisa jadi suami yang manis ke istri. Capek deh ...Aku menatap sinis Mas Nata di depan sana yang hendak membuka pintu mobilnya. Jangan bayangkan ada adegan cium tangan suami, kecup kening istri. Hilih! Itu adalah keajaiban dunia jika terjadi di rumah tanggaku dan Mas Nata.
Terlalu asik menggunjing Mas Nata dalam hati, aku sampai tidak mendengar Mas Nata memanggilku. Baru tersadar begitu suaranya sedikit lebih keras.
Aku menoleh, "Apa?"
Posisinya aku sedang bersandar di kusen pintu, sedang Mas Nata beberapa langkah di depanku. Berdiri santai di samping mobilnya. Menjulang tinggi.
"Ambilin kunci mobil. Lupa," katanya.
Bibir atasku naik sebelah, sinis. "Ogah!"
Ekspresi Mas Nata datar. "Nurut sama suami."
"Pantesin dulu diri kamu jadi suami yang baik Mas, baru bilang begitu."
Niatnya mau menyindir, tapi yang disindir tidak bereaksi apa-apa, tidak membalas ucapanku dan bahkan tidak menatapku. Seolah perkataanku tadi hanyalah angin sepoi-sepoi. Edan!
Aku menatapnya jengah, menghela nafas saking capeknya.
Sudah selama ini hanya bisa pasrah.
Eh ... sambil marah-marah dikit sih.
Jangan lupa vote dan komen jika
menurutmu cerita ini seru.
Jangan lupa follow Instagram
nona_gerimis jika ingin mendapatkan spall-spill dari cerita ini.Si Nata gitu yak, seneng bikin doang, sekalinya jadi ga peduli🗿
Mari kita bully dia!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemelut Rumah Tangga
Romansa🌹UPDATE SETIAP HARI JUMAT!🌹 Biasanya ketika kabar kehamilan seorang istri terdengar, suami akan bahagia. Memeluk istrinya penuh sayang dan rasa syukur. Namun rumah tangga Binar dan Nata tampaknya agak lain, karena setelah Binar tahu dirinya hamil...