Prolog

4.8K 266 1
                                    

"Selamat ya, Bu Binar, anda hamil. Sudah tiga minggu."

Aku serasa disambar petir mendengarnya.

Berawal dari kondisi tubuhku yang rasanya agak berbeda akhir-akhir ini dan juga kebiasaan mual yang intens aku langsung berpikir ke satu hal itu dan segera memastikannya sendiri ke dokter kandungan. Bukannya memberiku ketenangan, dokter itu malah manambah masalahku dengan perkataannya.

Merasa tidak percaya, aku mengetesnya sendiri di rumah. Dan hasilnya ...

Dua garis merah ...

Hasilnya benar-benar positif.

Aku terduduk lemas di atas kasur, tanganku gemetaran memegang test pack. Rasanya ada batu yang tertahan di dada. Aku bingung. Sekarang harus bagaimana?

Atensiku langsung teralih begitu pintu kamar menjeblak terbuka, menampilkan sosok pria dengan tinggi 180 cm. Kemejanya awut-awutan, rambutnya pun tidak ada bedanya dan oh jangan lupakan muka lempeng macam rempeyek-nya itu yang entah kenapa tetap ganteng.

Halah! Walaupun ganteng begitu dia tetap telah melakukan dosa.

Terdeteksi sudah menghamiliku!

Sekarang aku tahu harus bagaimana.

Aku melempar test pack bekasku ke wajahnya, meleset. Mengenai bahu bidangnya.

Perubahan ekspresinya tidak begitu banyak, tapi emosiku yang masih banyak.

Aku menghampirinya, mencengkeram kerah kemejanya. "KAMU BOHONG! KATANYA AMAN, TERUS INI APAAA?!"

"Apa?" Pria itu malah nanya balik.

Wajahku makin memerah, aku berteriak, "LIHAT APA YANG KAMU PEGANG! LIHAT!"

Dia menurut, mengangkat tangannya sedikit kesusahan sebab aku masih setia mencengkeram kerahnya. "Oh ... hamil."

Buju beneng! Aku sudah ketar-ketir dan dia malah santai begini. Sialan!

"Masss, kamu ngerti enggak sih?!"

"Enggak."

Kampret!

"Aku enggak tau caranya ... aku baru pertama kalinya hamil."

"Aku juga ... baru pertama kalinya hamilin orang."

Tuhan ... boleh tidak sih aku jedukkan kepala orang ini ke tembok?

Perkenalan pria hobi memancing emosi, menguji kewarasan dan halal dibunuh ini, namanya Arkanata Chandra. Dipanggil Nata. Yang sayangnya dia adalah suamiku, maka aku memanggilnya Mas Nata. Aku yakin tubuhku pasti dikuasai dedemit waktu menikah dengannya.

"Mas, ayo kita cerai!"

"Nanti kalau anak kita udah nikah."

"Kelamaan!"

"Yaudah tambah satu anak lagi."

Bunuh aku Tuhan bunuh.

Akhirnya bukan kepala Mas Nata yang aku jedukkan ke tembok, melainkan kepalaku sendiri.




Kemelut Rumah Tangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang