Epilog

1.2K 143 71
                                    

Dua bulan yang begitu berat nyatanya telah berlalu. Mengingat bagaimana kerasnya mereka berusaha memberikan yang terbaik agar tubuh kecil dan ringkih itu terus bertahan. Tubuh dengan hiasan luka yang membuat siapapun yang menatapnya merasa iba.

Bunyian alat EKG yang rasanya tak akan pernah berhenti, bunyian langkah kaki yang seakan tak pernah berhenti untuk masuk silih berganti.

Mereka semua— semuanya sama-sama mengusahakan. Tak ada hubungan darah yang terikat diantara mereka, tapi rasa sayang mereka pada sosok yang kini terbaring lemah itu begitu besar sampai-sampai mereka sebegitu besarnya mengusahakan akan sosok itu terus bertahan.

Dua bulan berlalu, ada masa dimana mereka ingin menyerah. Bukan— bukan karena mereka yang lelah, tapi karena mereka merasa tak tega saat tubuh putih itu kini tak lagi mulus sebab terhias oleh banyaknya memar— akibat dari banyaknya tindakan yang ia dapatkan.

Mereka hampir menyerah, memikirkan bagaimana konsekuensi yang akan mereka terima kalau memaksanya untuk terus bertahan. Tubuh yang tak lagi sempurna, pandangan dan stigma masyarakat yang tak lagi sama, dan yang pasti hangatnya dekapan keluarga yang tak akan lagi ia rasakan seperti sebelumnya.

Ya, ia tak hanya kehilangan sebagian fungsi tubuhnya, namun ia benar-benar kehilangan sebagian besar hidupnya, alasan dirinya selama ini terus tersenyum dan bahagia.

Mereka benar-benar hendak menyerah. Pertimbangan yang sudah berulang kali dirundingkan. Keputusan berat yang sebenarnya berat untuk mereka putuskan. Alasan kuat yang menjadi pertimbangan berat mereka semua adalah sebab selama dua bulan itu kondisinya sama sekali tak mengalami peningkatan. 

Hari itu, mereka semua telah berkumpul. Atas banyak pertimbangan yang dilakukan sebelumnya, tentunya dengan mempertimbangkan saran dari dokter selaku profesional yang memang sudah ahli dalam bidangnya, mereka berniat melepas alat yang menjadi penopang hidupnya selama dua bulan ini.

Mereka sudah siap, begitupun dengan para dokter disana. Mereka sudah siap melepas sosok yang kini terbaring lemah itu untuk pergi beristirahat.

Tapi sepertinya semesta belum mengizinkan ia untuk beristirahat, tepat sebelum alat terakhir yang menjadi penopang hidupnya terlepas, mereka semua yang ada disana melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa tangannya mulai bergerak perlahan.

Mereka semua yang ada disana hampir tak percaya ketika secara perlahan tak hanya jari-jarinya yang bergerak namun juga secara bertahap matanya mulai terbuka. Mukjizat kalau selama ini orang bilang. 

Mereka menganggap ini semua sebagai keajaiban, sebab selama dua bulan dirawat disini, bahkan sekedar gerakan jari pun tak tampak darinya. Melihat hal tersebut, paramedis pun kembali bekerja, memasang kembali alat-alat yang memang dibutuhkan untuk menopang kembali hidupnya.

Semuanya yang ada disana merasakan lega dan juga takut secara bersamaan. Lega karena pada akhirnya sosok lemah itu kini berhasil bertahan dan takut sebab ada lebih banyak hal besar yang akan ia temui setelahnya. Hal-hal besar yang mungkin tak pernah terbesit dalam pikirannya, hal besar yang benar-benar mengubah hidupnya.

Benar memang jika kini ia mampu bertahan, raga yang sebelumnya seakan mati pun kini mulai hidup kembali. Namun tampaknya hanya raganya saja yang kembali sebab jiwanya pun telah lama mati.

Ia tak hanya kehilangan saudaranya dan sanak keluarganya, tapi ia juga kehilangan sebagian besar hidupnya. Ia tak hanya kehilangan sosok kakak dan orang tua dalam hidupnya, tapi ia juga kehilangan semangat serta tujuan hidupnya. Kasarnya, hidupnya setelah ini pun seakan tak berarah, hidupnya setelah ini pun hanya menghabiskan waktu sebelum akhirnya semesta benar-benar mengizinkannya untuk bisa berkumpul kembali bersama dengan orang-orang terkasih nya.

Rain(coat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang