Esok paginya, sekitar pukul 5 pagi, nyonya Wiratama terbangun dari tidurnya. Ia hendak beranjak dari tempat tidurnya namun tak bisa sebab masih dipeluk oleh Rain, putra bungsunya.
"Dek, bangun yuk. Lepas dulu ini mama mau masak, kamu juga mesti sekolah kan ?", ucapnya pada Rain yang masih terpejam.
"Hm ? Rain masih ngantuk ma. Ngga usah lah, Rain masih mau sama mama. Ngga usah sekolah, libur aja selama mama di rumah", ucapnya setengah sadar.
"Heh, mana boleh gitu. Yaudah kalo belum mau bangun, tapi lepas dulu ini tangannya. Mama mesti masak buat sarapan kalian", ucapnya lagi.
"Ngga usah, ngga perlu sarapan. Mama disini aja", Rain berucap tanpa membuka matanya.
Konversasi keduanya terdengar oleh Sabiru yang berada di sisi kanannya. Suara keduanya membangunkan Biru dari tidur nyenyaknya.
"Udah pagi ya ma ?", tanya Biru, tangannya terangkat untuk mengucek matanya, tapi lebih dulu ditahan oleh sang mama.
"Jangan dikucek bang, merah nanti matanya. Iya, masih jam 5 tapi, kalo abang masih ngantuk tidur lagi ngga papa. Nanti kalo sarapannya udah siap mama bangunin lagi", ujarnya pada Sabiru.
"Rain udah bangun ma ?", tanya Biru.
"Belum, ini malah ngga mau lepas dari mama. Mama mau masak jadi ngga bisa", mendengar hal itu, Biru lantas bangun dari posisinya. Meraih guling kesayangannya dan lantas mendekat ke arah Rain berada.
"Mau ngapain ?", tanya sang mama.
"Bantuin mama biar ngga ketempelan Rei", ucapnya masih dengan suara yang parau.
Mamanya yang tak paham hanya diam mengamati. Detik berikutnya dengan tanpa beban Sabiru memukulkan gulingnya ke arah Rain. Membuat siempunya terganggu dan berakhir melepas pelukannya untuk menghentikan serangan Sabiru.
"Udah lepas kan ma ?", tanya Biru dengan santainya sedangkan sang mama masih syok dengan tingkah laku putra ketiganya tersebut.
"Ya ampun, mama ngga expect kamu bakal mukul adekmu bang. Mana Rain ngga bangun, malah nyambung tidurnya lagi", ujarnya.
"Rain mah emang susah bangun ma. Dia gampang kebangun cuma pas sakit aja", terang Sabiru.
"Ya ampun, dasar. Lain kali jangan gitu bang ah, kasian adeknya kalo kena pukul gitu", tegur mamanya.
"Ngga papa ma, ini latihan militer namanya", balas Sabiru yang membuat mamanya menggeleng pelan.
"Yaudah mama mau ke dapur, abang mau tidur lagi apa mau bantu mama masak sarapan ?", tanyanya.
"Kalo bantuin mama dapet apa ?", tanya Biru.
"Abang mau minta apa emang ? Masa bantuin mama aja minta upah sih", Sabiru nampak berpikir sebentar.
"Suapin abang nanti ya ma ? Please", ucapnya memohon.
"Ih ? Ngga malu ? Udah gede juga, masa minta suapin mama", ucap mamanya bercanda.
"Engga, ngapain malu, abang bukan kuli bangunan. Rain aja boleh minta suapin ke mama, masa abang engga", ucapnya dengan dramatis.
"Ya Rain kan adek kamu bang, lagian itu juga udah lama", balasnya.
"Rain sama abang cuma beda dua tahun, jadi harusnya bisa sih dianggep seumuran. Eh tapi abang ngga mau, nanti Rain manggilnya pake nama lagi.
Belum lama tau ma, abang inget. Orang sebelum mama berangkat pergi sama papa waktu itu kok", mendengar protes dari Sabiru, ia hanya tertawa pelan.
Diantara keempat putranya, Sabiru lah yang paling sebentar menyandang gelar sebagai bungsu di keluarganya.
Jarak usia Andra dengan Jefran hampir empat tahun, jadi cukup lama Andra mendapat perhatian penuh dari ia dan suaminya. Begitupun dengan Jefran dan Sabiru yang berjarak sekitar 3 tahun, jadi lumayan lama Jefran bisa menikmati posisinya sebagai bungsu dikeluarga Wiratama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain(coat)
FanfictionTentang Rain- Selayaknya jas hujan yang melindungi pemakainya dari terpaan hujan yang begitu derasnya, begitupun seharusnya peran keluarga yang menjadi pelindung bagi semua anggotanya. Kalian ngeselin !! Tapi gue bersyukur punya kalian, jadi tolong...