LAP 13 | Has

75 25 17
                                    

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!

.
.
.

⋇⋆✦⋆⋇

Hervé tahu dia salah. Seharusnya dia juga tidak pergi malam itu mengetahui kondisinya sendiri dan situasi antara dia dan Charlie yang masih keruh. Di sisi lain, dia juga membutuhkan penetral pikiran agar tidak terus menerus terpaku dalam masalahnya.

Pagi tadi Hervé menolak diantar oleh Charlie dan lebih memilih pergi bersama Valentino. Kakaknya hanya mengiyakan, sadar kalau memperkeruh keadaan hanya akan membuat Hervé semakin jauh.

Bel berbunyi, usai sudah kelas hari ini.

Tongkat di ambil dari sisi meja setelah membereskan buku-bukunya ketika yang lain berbondong-bondong keluar, gadis itu berdiri, menyusul teman kelas yang satu persatu meninggalkan kelas.

Lorong.

Belokan.

Lorong lagi.

Pintu utama.

Cahaya mentari dapat dilihat, langkah pelan akhirnya membawa Hervé sampai ke depan pintu utama. Di depan gerbang sejumlah mobil jemputan menunggu para siswa lainnya pulang, akan tetapi Hervé belum berhasil menemukan mobil hitam milik Charlie yang biasa digunakan Valentino untuk mengantar jemput.

Alih-alih mendapati figur pria tinggi berkepala pelontos, kedua manik beriris cokelat itu malah melihat gadis berambut lurus berjalan ke arahnya dengan langkah lebar. Rambut hitam indahnya tersibak-sibak mengikuti derap langkah yang kuat.

Hervé menghentikan langkah tepat di depan pintu masuk sekolah, sementara netranya tidak lepas memandang wajah Camila yang memiliki rahang tegas serta hidung mancung dengan tulang hidung menekuk. Tatapan Camila terpaku padanya, tatapan yang menyuarakan rasa gundah dan dibalut dengan amarah.

Gadis itu berhenti di depan Hervé, emosinya meredup, ia terlihat sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan perasaannya saat ini, dan Hervé sudah tahu respon apa yang akan diterimanya.

Camila berdeham, netranya sempat alih fokus, tapi kini kembali pada Hervé. "Dengar, Hervé, aku sudah muak. Dewasalah, Harvey! Sudah kubilang kalau aku tidak butuh sepeser uangmu untuk biaya sekolahku. Kapan kau akan mengerti kalau tidak semuanya bisa kau dapatkan kembali? Let me go, Hervé, it's to late to relize how painful it is."

Hervé mengerutkan dahinya. "Jangan berkata begitu. Biarkan aku menebusnya---"

"Fisik bisa sembuh, Harvey, tapi tidak dengan perasaan. Kita sudah usai sejak kau mengatakan hal buruk tentangku pada teman-teman famous-mu. I saw you look at me with disgust. I thought you were everything, but you proved me wrong. Aku mengemis agar pertemanan kita kembali, tapi kau terlalu sibuk dengan dunia balapmu yang mewah itu, dan aku sadar kalau sebenarnya orang kaya tidak cocok berteman denganku. That's okay, that's fine, I can still breathe even without you. Aku akan mengembalikan uangmu, dan jangan menemuiku lagi. Good bye, Litto."

Yesterday Once MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang