Dalam perjuangannya untuk pulih dari cedera parah yang membuatnya absen dari dunia balap, Hervé Litto dihadapi masalah percintaannya dengan seorang driver DNCR berkebangsaan Spanyol, Marc Moreno.
Di tengah memadamnya percikan semangat untuk pulih, t...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Happy reading!
. . .
⋇⋆✦⋆⋇
"Kau tidak bilang mau ke sini." Charlie berkacak pinggang, menatap adiknya yang tak ada habisnya membuat ulah.
Gadis itu berdandan, mengenakan dress putih selutut yang dilapisi jaket bomber berwarna hitam doff milik Charlie. Rambut cokelatnya dikeriting, diikat setengah dan dibiarkan tergerai. Charlie curiga kalau adiknya tidak hanya berniat untuk datang dan hadir, tapi ada rencana lain yang sudah disusunnya.
"Kenapa? Masih marah, ya? Aku janji tidak akan ke sana lagi tanpa memberitahumu. Please, don't be mad. Malam ini pulang, ya?" Hervé menggapai lengan Charlie.
"Sissy ... busy day, minggu ini aku belum bisa pulang. Kalau tidak percaya, coba tanya Giah sebanyak apa jadwalku. Kau duduk di sini saja, okay? Minta headphone ke pit crew saat aku latihan nanti. Jangan ke mana-mana, Valentino akan mengawasimu."
Valentino, pria jangkung berkepala botak itu lagi, sudah berdiri di belakang kursi yang Hervé duduki.
"Anggap saja Valentino itu boneka besar, dia tidak menganggu," Charlie melanjutkan.
"Aku juga mau keliling! Sudah lama tak ke sini."
"Keliling sepuasmu, Sissy, tapi Valentino tetap ikut. Titik."
Hervé berdecak. "Really?"
"Valentino pandai mengambil foto, kau tahu. Iya, kan, Val?" Valentino hanya bergumam kecil, tidak merespons banyak. "Don't worry, my sweet heart."
Charlie pasti bercanda.
"Aku sedang membayangkan diriku berjalan di pit lane dan boneka besar berkacamata hitam mengikuti dari belakang," satirnya.
"I. Don't. Care. Ingat terakhir kali kau lepas dari pengawasanku? Dan apa yang terjadi? Jalanmu bahkan belum benar. Bisa-bisa deker itu tidak akan pernah lepas."
Andai saja Charlie tahu kalau perempuan satu ini baru saja mendaki bukit kecil dua hari yang lalu.
Bibir Hervé tertutup rapat. Charlie benar, mungkin sudah saatnya menuruti perintah sang kakak.
"Your turn, Harvey." Salah satu kru mendatangi mereka, lebih tepatnya memanggil Charlie, tapi Hervé juga ikut menoleh sebab merasa terpanggil---akibat nama belakang mereka. Kru berambut putih itu menarik sudut-sudut bibirnya ketika menyadari kehadiran seorang gadis yang tengah duduk di kursi yang seharusnya Charlie duduki sembari menunggu sesi latihannya.
Senyum pria itu begitu lebar, lebih cocok digambarkan dengan perasaan senang. "Oops, little Harvey is here too!" serunya. "Bagaimana kabarmu?" Pria tua itu mendekat, mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.