LAP 23 | Messy Blue Eyes

89 24 26
                                    

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!

.
.
.

⋇⋆✦⋆⋇

Gemuruh di langit menjadi pertanda kalau hujan akan mengguyur kota. Angin laut terasa sampai ke puncak bukit sirkuit dekat pelabuhan di mana Hervé memutuskan untuk mengasingkan diri sejenak dan mencoba untuk mencerna keadaan yang terlihat seperti benang kusut.

Gadis berambut cokelat bergelombang itu duduk di atas bukit di pinggir sirkuit peninggalan ayahnya. Banyak memori yang berputar di kepala, dan Hervé masih ingat betapa indahnya sirkuit ini dulu---sekarang lebih seperti tempat angker yang dihuni oleh makhluk tak kasat mata, gelap dan temaram.

Hervé menikmati tiap embusan angin yang membelainya sembari menatap ke track di bawah ketika matahari mulai bersembunyi di balik garis laut.

Rintik hujan perlahan turun, Hervé menyadari hal itu, tetapi dia memilih untuk berdiam diri menunggu hujan turun lebih lebat. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, debit air yang turun semakin banyak, dia pun mendongak, memejamkan mata---membiarkan rintik air perlahan membasahi wajah.

"Je t'aime, Hervé, ma fille."

"You didn't know it was installed in your car, don't you?"

"... and he wants to blame himself through you."

"Aku melihat api ... mobilku terbakar! Oh, God! I can't move ... I can't feel my legs. LET ME OUT!"

"Sis, you'll be okay, I promise. Just stay with us."

Air matanya mengalir, berbaur dengan air hujan yang mendarat di pipinya. Ingatan itu ... lama kelamaan menjadi senjata untuk meruntuhkan semangatnya.

Siapa yang harus dia percaya?

Mendadak rintik hujan tak lagi mengusap wajahnya, pun netra tidak lagi meihat silau dari langit sore yang mendung dari balik kelopak mata yang tertutup. Hervé merasakan kehadiran seseorang. Gadis itu segera membuka matanya, dan benar saja ... jaket terbentang di atasnya, melindungi netranya dari silau langit yang sudah meredup.

Alis Hervé bertaut penasaran.

"Charlie mencemaskanmu," ujar seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya sembari membentang jaket bomber berwarna merah-hitam di atas kepala Hervé.

Tanpa harus melihat siapa yang berdiri di belakangnya, Hervé sudah tahu siapakah yang datang hanya dengan mendengar suaranya. Kini atensinya berfokus kembali pada sirkuit kosong di depan.

"Ayo pulang, akan kuantar."

"Tinggalkan aku sendiri, Max."

"Yang benar saja? Susah payah kucari dan kau malah menyuruhku pergi?"

Yesterday Once MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang