LAP 29 ǀ Starlight

72 16 6
                                    

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!

.
.
.

⋇⋆✦⋆⋇

Diam-diam Hervé menyelinap ke dalam pesta yang katanya hanya pesta rumahan biasa, padahal pemandangannya sudah seperti di club

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diam-diam Hervé menyelinap ke dalam pesta yang katanya hanya pesta rumahan biasa, padahal pemandangannya sudah seperti di club.

Netra mengedar ke seluruh area kolam renang yang lumayan luas dengan orang-orang yang sibuk dengan obrolan masing-masing. Beberapa wajah memang tidak asing di matanya, tapi beberapa dari mereka sepertinya driver baru yang mewakili negara mereka masing-masing.

Hervé berjalan mendekati meja bundar setinggi pinggangnya di mana beberapa minuman beralkohol bertengger di dalam mangkuk alumunium berisi es batu.

Targetnya adalah minuman berkaleng di dekat mangkuk itu. Soda, pikirnya, dia pun mengambil sekaleng lalu pergi menuju ke halaman depan.

Hervé duduk di kursi gantung di taman kecil sebelah timur rumah.

Berayun tipis, membuka kaleng minumannya, kemudian ia tengguk.

Netra mengernyit, disembur kembali minuman itu.

"Ew! Apa ini?"

Mendadak seseorang merampas kaleng minuman itu dari tangannya lalu diganti dengan segelas soda.

Hervé sontak menoleh, dan matanya pun mendapati Max yang mengambil minumannya, lalu duduk di depannya.

"Kau bodoh atau apa? Sudah jelas tertulis di kalengnya kalau ini beralkohol," Max menggerutu.

"Mana kutahu! Lagipula kalengnya mirip minuman bersoda biasa," balas Hervé, "terima kasih."

Max mengangkat sebelah alisnya. "Bagaimana dengan Marc? Kulihat dia membawa bunga tadi, pasti untukmu."

"Ya, dia membawakannya untukku, dan hal yang mengejutkan lagi dia memberiku parfum yang sama dengan yang Jessie gunakan."

"No fuckin' way." Gelak tawa Max membuat Hervé jengkel. "He's a good player. Ah, DNCR driver."

"Lupakan," Hervé memotong, "aku hanya perlu memergokinya, dan ini akan berakhir."

"Setelah semua yang terjadi, kau masih menjalin hubungan dengannya?"

"Ayolah, kau tahu ini sulit untukku." Hervé memandang ke arah balkon di mana Marc masih duduk di sana---berbicara dengan Valentino---lalu atensinya kembali tertuju pada Max. "I like your outfit, by the way." Hervé mengalihkan topik pembicaraan.

"Ibuku yang memilihnya." Senyum Max begitu tulus ketika dia menyebut ibunya.

"She's here? Kau tidak bilang ...."

"Tidak, video call."

Hervé terkekeh. "Yang benar saja? Kau menelpon ibumu hanya untuk outfit?"

"Mom knows the best, Darling," ujar Max menggoda Hervé. "Kau tahu, sebenarnya aku ingin menanyakan hal ini padamu, tapi aku menunggu waktu yang tepat untuk menanyakannya. Kurasa sudah waktunya untuk bertanya."

Hervé jadi penasaran. "Katakan."

"Namamu Hervé---maksudku, Hervé, itu nama anak laki-laki. Sebelum aku melihatmu secara langsung, kukira kau bocah laki-laki tengil yang tidak suka dikekang oleh kakaknya, ternyata ...."

"Seriously?" Gadis itu menahan tawa. "I mean, ya memang. Hervé itu nama anak laki-laki. Apa kau tidak tahu kalau itu sebenarnya nama Charlie? Charlie Hervé Litto Harvey, but he never use it, karena dulu dia tidak terima kedua orang tuaku memberi namanya kepadaku. And the intresting part is: my parents expected a second baby boy, but they got me," ujar Hervé diselingi tawa kecil.

Max agaknya terkesan sekaligus tidak menyangka fakta unik yang baru saja dia dapatkan. "Oh, never heard that before, walau aku dan Charlie dekat. Jadi, itu memang nama Charlie, okay. Lalu bagaimana kalau orang tuamu memiliki anak lagi? Apa mereka akan diberi nama Litto Harvey?" canda Max.

"Kurasa iya kalau orang tuaku tidak bercerai."

Hervé tertawa, tapi tidak dengan Max. Laki-laki itu baru ingat kalau pasangan Harvey sudah lama berpisah, dan rasa tak enak pun seketika menyelimutinya serta menimbulkan atmosfer canggung.

"Bodohnya---Herv, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung hal itu---"

"What? No," Hervé menyela, "tidak semua hal harus dibawa serius. Perceraian orang tuaku tidak terasa begitu buruk karena masih ada Charlie. Dia bahagia, aku bahagia, dan hanya ada kenangan indah. Lagipula aku juga seorang driver, apa yang lebih baik daripada itu?"

"Kau gadis yang kuat, aku salut. Andai saja aku ada di posisimu saat ini, mungkin aku tidak akan bertahan sepertimu. You're different." Tatapan Max berbeda dari biasanya. Pupil matanya melebar, membuat iris biru keruh itu menggelap.

Apa yang baru saja Max katakan menyentuh hati Hervé, secara tidak langsung menjadi pemantik api semangat yang sedang redup-redupnya.

Banyak masalah yang gadis itu hadapi, tapi ketika bersama Max, seketika pikiran yang kalut teredam rasa nyaman dari kehadiran laki-laki berkebangsaan Belanda itu.

Dengan cara Max menatapnya sudah cukup membuat dirinya merasa lebih tenang.

"Tidakkah kau merasa hidup agak bosan belakangan ini?" tanya Max mencairkan suasana.

"Hmm ... menurutmu begitu? Kurasa sudah cukup menarik, tempo waktu kita jadi detektif, lalu tantangan satu putaran---kau menyebalkan."

"Kau menyukainya."

"Big no."

"Jangan bohong. Kau sendiri yang bilang hidupmu terasa lebih hidup setelah tantangan itu."

"Nein."

Max memutar bola matanya. "How about tommorow? I'll pick you up after school."

"Apa kau tidak punya kerjaan? Kulihat kau lah yang paling santai di antara semua driver kelas utama."

"Selalu ada waktu untukmu."

"Semua driver kelas utama sama saja."

"Really?Then try me."

21 Laps to Go
To be continued ....

21 Laps to GoTo be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yesterday Once MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang