Lap 27 | Roses Now Dead (Part 1)

84 19 18
                                    

Sengaja dia buka tirai jendela dan membiarkan angin fajar berembus melalui pintu balkon. Langit jingga kini telah beralih warna menjadi biru gelap dengan gradasi jingga yang masih terlukis tipis di bagian Barat langit.

Telinga tersempal headset, harap-harap dapat meredam suara musik dari halaman belakang. Alih-alih mengurangi kebisingan di rumahnya, fokus yang seharusnya bertitik pada tugas sekolah malah teralihkan dengan suara deru mesin mobil mewah di bawah, cukup jelas terdengar sebab posisi kamar yang bersebelahan dengan halaman rumah, di mana jika berdiri di balkon, maka panorama halaman depan akan nampak dari sana.

Percaya atau tidak, jantung berdegup begitu kencang tatkala mendengar suara mobil yang sangat familier di telinganya. Memori langsung berputar kembali ketika tantangan satu putaran yang Max tawarkan tempo waktu. Walau bukan dirinya yang membawa mobil itu, tapi pengalaman itu membuatnya merasakan kembali bagian yang nyaris padam.

Begitu mesin dimatikan, Hervé langsung beranjak dari meja belajarnya menuju ke balkon kamar. Langkahnya dipercepat walau sempat hampir kehilangan keseimbangan, dan sampailah dia di tepian balkon.

Sedikit mencondongkan badan ke depan demi memastikan dugaan, dan ya, mobil yang sama terparkir di halaman depan, lalu keluar pria berambut cokelat keemasan dengan setelan blazer cokelat kayu tanpa lengan yang dipadu dengan kemeja berlengan panjang ketat membentuk tubuh atletisnya dan dua kancing kemeja sengaja dibuka, memamerkan dada bidang dengan rambut tipisnya.

Hervé beranggapan kalau setelan Max terlalu---tidak juga santai, tidak juga formal---untuk pesta rumahan seperti ini. Rambut ditata rapi ke kanan, menyisihkan helaian poni menjuntai menutupi sedikit netranya yang biru.

Laki-laki itu terlihat sedikit berbeda, yang paling mencolok adalah penampilannya. Pandangan Hervé tak lepas sampai akhirnya figur Max terhalang oleh dahan tanaman hias dari balkon sebelah.

Hervé menghela napas pelan, lalu memutar tubuhnya membelakangi panorama halaman samping rumah, dan di saat itu juga dia memutuskan untuk membawa bukunya ke balkon sebelah kamarnya di mana menghadap langsung ke gerbang rumah.

Gadis bernetra cokelat terang itu kemudian berjalan melewati dinding yang dipenuhi foto-fotonya bersama Charlie saat masih kecil, kemudian foto keluarganya, dan ya, fotonya bersama Teon di klub karting di mana saat itu Hervé berhasil finish pertama.

Begitu banyak kenangan yang tergantung di sana, kenangan indah yang tidak akan pernah terlupakan.

Pintu kaca digeser, kini atensi beralih ke sosok pria berkepala pelontos duduk di dekat pot tanaman bonsai sambil menghisap sebatang rokok, tak lupa sebotol minuman beralkohol di atas meja kaca tepat di depannya.

Alis Hervé bertaut, baru kali ini dia melihat Valentino dengan mode seperti ini, wajar saja apabila gadis itu sedikit syok. Asap diembuskan dari mulut pria itu, kemudian ia hisap lagi sebatang rokok yang sudah sisa setengah.

Ketika Hervé menutup kembali pintu kaca di belakangnya, atensi Valentino beralih padanya, melirik sesaat lalu kembali pada kesibukannya, menatap entah apa di depan sana.

Hervé berdeham, berusaha mencairkan suasana canggung di antara mereka. "Kupikir jam kerjamu sudah habis."

"Mr. Harvey menambah jam kerjaku," jawab Valentino singkat tanpa menoleh sedikitpun sambil membuang abu rokok ke dalam asbak dengan gelas minumannya.

"Apa itu perlu, dia terlalu berlebihan." Hervé meletakkan laptop dan bukunya di bawah, kemudian ia duduk, meluruskan kaki kanan yang masih berbalut deker berwarna merah muda---kali ini---dengan perlahan.

"Kau butuh sesuatu, Ms. Harvey?" tanya Valentino.

Hervé menoleh lalu menggeleng. "Tidak, kecuali kau bisa mengerjakan fisika, itu akan sangat membantu."

Yesterday Once MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang