LAP 25 | Dream Away

120 26 18
                                    






















⋇⋆✦⋆

"Merci, Max."

⋇⋆✦⋆⋇























‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙

‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!

.
.
.

⋇⋆✦⋆⋇

Hujan sempat turun deras ketika Maximile hendak mengantar Hervé pulang, tapi hal itu sama sekali bukan masalah besar. Sesampainya di depan rumah, Max berpamitan dan menyuruh gadis itu untuk masuk menemui Charlie, si gadis pun mengangguk kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.

Seragam sekolah sudah seperti pakaian bekas, banyak bercak tanah pada rok putih selututnya, kaus kaki putih sudah selayaknya kain perca yang biasa digunakan untuk mengelap meja kotor.

Pintu terbuka, dan seperti dugaan, Charlie berdiri di di baliknya. Alis yang menekuk ke dalam serta tatapan tajam langsung mengarah padanya. Hervé hanya bisa tertunduk, merasakan jantung yang berdebar kencang.

Tangan bersedekap dada, rambut cokelat ikalnya berantakkan, sepasang mata itu menggelap, menatapnya dengan sangat intens. Tidak ada yang bisa menolongnya saat ini selain diri sendiri. Namun, di sisi lain Hervé juga marah karena Charlie selalu menutupi hal penting darinya seakan-akan kehadirannya hanya seperti angin lalu.

Kepala yang tadinya tertunduk takut kini berani mendongak mengingat pesan dari ayahnya siang tadi. Keraguan itu, rasa tidak percaya hadir di depannya.

"Sudah jam berapa ini?" Nada suara Charlie terdengar begitu rendah, tapi mengintimidasi.

Hervé menutup pintu di belakangnya, berjalan beberapa langkah ke depan, lalu melepas tasnya.

"Aku butuh pengalihan," jawab Hervé singkat.

"Pengalihan? Pengalihan dari apa? Kau punya segalanya di sini, Hervé."

"Lalu apa pentingnya kalau aku punya segalanya?"

Charlie terdiam sejenak setelah Hervé langsung menyahut ucapannya. "Ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau semakin keterlaluan!"

Yesterday Once MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang