7

885 58 2
                                    

Malam hari Deva yang ditinggal sendirian di rumah merasa bosan. Tiba-tiba dia memiliki ide cukup luar biasa. Pemuda setengah dewasa itu berlari ke luar kamar menuju dapur untuk memulai resep makanan di otaknya. Di dapur Deva mencari bahan-bahan sebelum memulai memasak.

Setelah menaruh semua bahan dia melakukan step demi step untuk masakan dia nantinya. Suara mobil masuk ke garasi mobil tidak menghentikan aksi Deva asyik di dapur.

Ucapan salam sang ayah dibalas oleh Deva sangat keras. Mendengar anaknya di dapur sang ayah berlari menuju dapur disana ternyata sang anak sibuk memasak.

"Masak apa kamu?" tanya Fahri.

"Ada deh. Papa cobain aja pasti enak," sahut Deva.

"Maaf ya sedikit terlambat," ujar Fahri.

"Tidak masalah," ujar Deva.

"Sudah makan kamu?" tanya Fahri.

"Udah cuma aku laper lagi," ujar Deva.

"Itu masakan kamu papa minta ya sedikit. Laper papa di jalan macet sih," ujar Fahri mengelus perutnya.

"Baiklah," sahut Deva.

Fahri berlari menuju kearah sementara Deva melanjutkan masak. Dia tersenyum melihat sebentar lagi masakan dia siap. Beberapa menit kemudian masakannya siap. Tidak lupa Deva mengambil dua piring dan juga nasi.

Mengenai membersihkan peralatan masak yang digunakan akan dia lakukan selesai makan. Tak lama Fahri keluar kamar dia menggunakan kaos singlet berwarna hitam tanpa lengan dan juga sarung.

"Jadwal papa ronda?" tanya Deva kepada sang ayah.

"Begitulah. Habis makan papa langsung ke pos ronda ya," sahut Fahri.

"Dev ikut," ujar Deva.

"Yah kamu," keluh Fahri.

"Biar papa tidak tebar pesona sama janda komplek," sindir Deva.

"Astaga kamu," ujar Fahri.

Pemuda itu tidak peduli ucapan Fahri sama sekali dia memilih mengambil piring kotor lantas mencucinya. Yah ucapan Deva benar adanya dia mengikuti sang ayah untuk begadang bersama para bapak-bapak.

Keseruan bapak-bapak mengobrol banyak hal random entah soal pekerjaan, istri ataupun anak benar-benar seru.

"Pak Fahri usia anakmu berapa?" tanya salah satu bapak-bapak berjenggot cukup tebal bernama Samsul.

"Sebentar lagi mau sembilan belas tahun pas," sahut Fahri.

"Lho kok belum lulus sekolah?" heran sang bapak botak bernama Junaedi.

"Dulu guru salah menilai dia berkata bahwa anakku bodoh padahal saat pindah sekolah dia naik kelas terus," jawab Fahri.

"Parah bener sekolahnya," celetuk salah satu bapak berkumis tipis bernama Santoso.

"Tidak masalah buat saya sih," ujar Fahri.

"Nak Deva sudah punya pacar dong atau gebetan?" tanya jahil Junaedi kearah Deva.

"Papa melarangku pacaran. Kalau ketahuan pacaran akan dipotong dua kali burungnya aku," jawab Deva.

"Serem amat pak ancamannya," ujar Samsul.

"Takut Deva kebawa arus pergaulan bebas. Maklum anak zaman sekarang doyan begituan namun tidak mau bertanggung jawab," ujar Fahri.

"Saya juga melarang anak gadis saya keluar rumah pas malam hari. Kalau mau keluar harus bersama aa nya," ujar Junaedi.

"Usia berapa anak Pak Junaedi?" tanya Fahri.

"Umur lima belas tahun," sahut Junaedi.

"Boleh tuh buat Deva," ujar Fahri.

"Papa!" kesal Deva.

Wajah kesal Deva membuat para bapak-bapak tertawa riang. Maklum Deva sering ikut acara ronda rutin yang diadakan komplek mereka.

Selain tidak mau ayahnya jelalatan terhadap lawan jenis dia juga kesepian di rumah sendirian. Merasa mengantuk Deva mulai tertidur di paha sang ayah agar segera tidur nyenyak. Fahri yang peka mengelus rambut anaknya agar segera terlelap.

Tak lama Deva tidur sangat nyaman sambil memeluk perut Fahri sangat erat. Interaksi mereka memang biasa bagi warga komplek. Mereka tahu Fahri sebagai ayah tunggal perlu juga berperan layaknya seorang ibu bagi anaknya.

"Untungnya Deva bukan tipikal anak yang rewel ya Pak Fahri," ujar Santoso.

"Dia di rumah rewel Pak Santoso bahkan saya seperti punya anak kecil," ujar Fahri.

"Wah saya tidak menyangka," ujar Samsul.

"Wajar Pak Fahri. Deva anak tunggal apalagi hanya punya Bapak seorang," ujar Junaedi.

"Makanya saya tidak melarang apapun tentang pergaulan Deva. Saya hanya menegaskan tentang larangan agama apa saja. Saya juga bahkan menghukum dengan cara memasukkan Deva ke pesantren disebabkan dia masuk ke dalam club malam," ujar Fahri.

"Benar-benar didikan ilmu agama yang sangat bagus sekali Pak Fahri," puji Samsul.

"Ilmu agama membuat seorang anak mengerti tentang larangan apa saja yang perlu dia hindari. Saya juga berpikir bahwa ilmu agama diatas segalanya dibandingkan apapun."

"Mengenai kesuksesan dia kelak telah menjadi jalan takdir baginya. Aku saja membebaskan jalan hidup yang dia pilih nanti."

"Lagipula setiap anak berhak memutuskan kehidupan dia kelak. Kita sebagai orangtua hanya bisa menjadi pendukung saja," ujar Fahri.

"Ada benar-benar sangat siap menjadi seorang orangtua Pak Fahri," puji Junaedi.

"Sebenarnya kalau boleh jujur waktu itu belum sih," ujar Fahri menggaruk belakang kepalanya.

"Memang jarak Pak Fahri dengan Deva berapa tahun?" tanya Santoso.

"Beda 20 tahun saja. Makanya sekarang sering dikira abangnya Deva dibandingkan bapak dia," sahut Fahri.

"Pantes aja wajah Bapak muda banget. Belum genap 40 tahun juga wajar banyak yang mengira begitu," ujar Samsul.

"Memang bapak-bapak berumur berapa?" tanya Fahri.

"Saya bentar lagi juga 50 tahun," sahut Santoso.

"Baru 45 tahun saja, Pak," ujar Samsul.

"Saya 40 tahun," ujar Junaedi.

"Wah bapak-bapak ternyata lebih tua dari saya!" kaget Fahri.

"Tidak masalah Pak. Disini kan kita perkumpulan bapak-bapak ronda mengenai umur anggap saja seumuran," canda Santoso.

Fahri tersenyum akan jawaban Santoso. Suatu hal yang dia sukai ketika begadang bersama para bapak-bapak komplek yah ini. Walaupun dia ayah paling muda disini namun mereka tetap menghargainya.

Candaan mereka membuat suasana malam berwarna. Bahkan suara burung hantu tidak membuat mereka takut. Fahri yang melihat sang anak kedinginan melepaskan jaket yang digunakan lantas memakainya diatas tubuh Deva.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Senin 26 Februari 2024

Radeva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang