42

456 45 2
                                    

Pemandangan malam hari memang sangat menyenangkan. Suasana dimana setiap umat manusia merasakan ketenangan.

Begitupula dengan sosok remaja yang tengah merokok santai di trotoar jalan. Dia tengah kabur dari kejaran sang ayah. Awal mula dari hal tersebut adalah paksaan ayahnya untuk segera berkonsultasi dengan seorang psikiater. Dia juga tidak suka ucapan sang ayah yang berkata akan segera mati.

Tidak sadar akan keadaan ada beberapa orang mendekati dia bahkan mengepung keberadaannya agar tidak terlihat. Menatap malas ke semua pria berbadan kekar di depannya.

Salah satu dari mereka menarik baju Deva agar segera bangkit berdiri. "Kau pasti putra dari Mahendra!" ujarnya."Ya benar," sahut Deva dengan wajah datarnya.

"Lebih baik kita hajar bocah songong ini!" kesal orang di sebelahnya.

"Om sudah tua lebih baik cari pekerjaan halal. Bukan malah berniat membunuhku begitu saja," ujar Deva.

"Banyak bicara kau bocah!" kesalnya.

Sebuah tembakan meluncur begitu saja tepat kearah pundak Deva. Tidak ada raut kesakitan sama sekali dari wajah Deva. Dia menampakkan wajah tersenyum senang karena itu. Mereka yang mengepung sedikit mundur melihat reaksi Deva.

Deva mendekat kearah mereka dengan darah yang menetes dari bahu kanan dia. "Kalian tadi mau membunuhku, bukan?" tanya Deva.

Sang pemuda memiringkan kepala dia menatap remeh para pria di depannya. "Pekerjaan untuk mematikan seorang makhluk bukan tugas kalian. Aku akan mati apabila ayahku juga tiada," ujar Deva.

"Ucapanmu dijaga!" tegur seseorang.

Sosok pria dewasa di belakang Deva membuat kelompok pria itu semakin mundur menjauh. Tatapan datar didapatkan oleh Deva dari sang ayah. Yah itu Fahri sejak tadi dia keliling kemanapun untuk mencari keberadaan sang anak.

Jitakan sayang didapatkan oleh Deva dari Fahri. "Lu itu kebiasaan! Gua panik nyari malah enak bener disini!" omel Fahri kepada sang anak.

"Pending dulu marahnya pah. Lebih baik kita hajar para pria itu," ujar Fahri menunjuk sekelompok orang di depannya.

Sang duda menghitung jumlah pria di depan dia secara manual. Tingkah laku Fahri membuat Deva tertawa. Pantas saja sang ayah sering dibilang kakak dia dibandingkan sosok seorang ayah. "Ada sekitar dua puluh orang jadi kita bagi dua saja," ujar Fahri.

"Kita hajar!" pekik Deva.

Kedua pria itu berlari menuju kearah depan untuk menghajar puluhan orang tersebut. Benar kata orang ilmu bela diri memang sangat bermanfaat untuk kehidupan. Beberapa menit kemudian mereka berhasil mengalahkan semua. Ketika Fahri menyentuh bahu Deva ringisan yang dia dapatkan. Dengan cepat Fahri membuka jaket hitam yang digunakan oleh sang anak.

"Lu bilang kek kena tembak dari mereka!" omel Fahri.

"Ngomel mulu lu!" ujar Deva.

"Gua khawatir pea!" omel Fahri.

Pria dewasa itu mengeluarkan hp dia untuk segera menghubungi sang dokter pribadi sekaligus Rey dan Dito. Deva yang lemas memeluk kedua kaki sang ayah. Anehnya Deva melakukan hal tersebut sambil merokok santai.

Fahri melepaskan pelukan sang anak dari kedua kakinya. Dia berjongkok tepat di depan Deva. Sang duda melepaskan kemeja yang dia gunakan dan memakaikan itu ke tubuh sang anak. Deva hanya menggunakan kaos dalaman saja berwarna putih tanpa kaos polos.

Tubuh Deva memang lebih sensitif mengenai suhu dingin. Jadi Fahri memaksimalkan untuk menjaga suhu tubuh Deva tetap hangat. Anehnya Deva tipikal orang yang setiap malam hari jarang menggunakan kaos polos. Dia lebih suka menggunakan jaket ketika tidur. Jangan heran apabila jaket Deva cukup banyak.

Ada aturan dari Fahri yang melarang Deva untuk membuka baju walaupun saat tidur. Pernah Deva melanggar aturan berakhir dia di opname selama seminggu lebih di rumah sakit.

Mengambil pelajaran dari sana Deva lebih suka mengoleksi jaket atau jumpsuit untuk dia tidur. Ac di kamar Deva saja tidak di atur dalam kondisi sangat dingin.

Pelukan hangat di dapatkan Deva dari sang ayah. Alasan Deva lebih suka memeluk Fahri di depan yah karena ini. Apabila dipeluk dari belakang menurut Deva kurang nyaman. Jadi  dia lebih suka dipeluk di depan saja.

Wajah tenang Fahri dibalut kekhawatiran di mata tidak luput dari pandangan Deva. "Papa!" panggil Deva.

"Jangan tidur dulu ya," ujar Fahri mengelus rambut sang anak.
Sakit tahu," keluh Deva.

"Tadi pas berantem gak ngeluh sakit tuh," sindir Fahri kepada sang anak.

"Yah kan baru kerasa sekarang," elak Deva.

"Kenapa setiap ada orang yang mengincar papa kamu berkata seperti itu terus?" tanya Fahri.

Sang anak memiringkan kepala tidak mengerti. "Tidak tahu. Dev tidak mau saja merasakan kehilangan itu sangat menyakitkan jadi Dev berkata akan pergi bersama papa apabila mama menjemput papa kelak," ujar Deva polos.

"Memang kamu bisa melawan takdir sang pencipta?" tanya Fahri.

"Tidak," jawab Deva.

"Maka kamu perlu menjalankan hidup seperti bagaimana mestinya. Papa tidak selamanya menemani dirimu disini," ujar Fahri.

"Bagaimana cara Dev menjalankan hidup kalau tidak bersama papa?" tanya Deva.

"Kita mulai dengan Deva menjalani pertemuan dengan psikolog," ujar Fahri.

"Mager tahu! Dev lebih suka nonton anime saja!" pekik Deva.

"Kamu mau kuliah lho beberapa bulan ke depan," ujar Fahri.

"Tahu ah! Dev tidak mau menghilangkan memori terakhir bersama mama," ujar Deva.

"Nak," ujar Fahri sedih.

"Jangan paksa Dev melakukan hal tersebut!" pekik Deva.

"Kamu tidak mau terbebas dari belenggu kenangan suram tersebut?" tanya Fahri.

"Aku ingin." Deva memegang dada dia sebentar lantas melihat wajah sang ayah. "Apabila aku menghapus kenangan tersebut maka senyuman terakhir mama kepadaku juga akan hilang!" pekik Deva.

Fahri mengalihkan pandangan dia jujur sangat sedih mengenai peristiwa yang membuat sang istri tiada di depan mata Deva.

Suara mobil mendekat membuat mereka berdua bangkit berdiri ternyata itu Bisma. Dia langsung memukul kepala Fahri begitu saja membuat sang duda mengaduh kesakitan.

"Lu jaga anak gak bener amat dah!" omel Bisma.

"Obatin anak gua dulu aja sih," gerutu Fahri mengelus kepala dia akibat tindakan Bisma terhadapnya.

"Dulu gua perlu jaga lu karena tingkah tengil lu itu! Sekarang anak lu juga sama!" omel Bisma.

"Malah curhat lu," sahut Fahri.

"Kita ke rumah sakit saja. Males gua debat sama titisan demit kayak lu," ujar Bisma.

"Heh gua bos lu ya!" pekik Fahri.

"Inget gua punya rahasia yang memalukan lu ketika masa sekolah ya!" ancam Bisma kepada Fahri.

"Rahasia apa Om Bisma?" tanya Deva penasaran.

"Jangan kasihtahu!" peringat Fahri.

"Bapak lu pernah nangis kejer di atap sekolah perkara gambar dia dirobek sama nenek lu," jawab Bisma tidak peduli akan ucapan Deva.

"Kok nenek melakukan hal tersebut?" tanya Deva tidak mengerti.

"Bakat seni bapak lu kagak dapet dukungan dari kedua orangtuanya," jawab Bisma.

Fahri diam saja dia bahkan menatap tajam Bisma dibalas tatapan remeh oleh Bisma. Kedua pria tersebut memang seringkali begitu.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Selasa 28 Mei 2024

Radeva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang