28

507 46 12
                                    

Suasana lebaran memang sangat meriah. Setiap keluarga merayakan dengan gembira dan suka cita. Bersilaturahmi antar saudara, tetangga bahkan sahabat terdekat untuk saling memaafkan.

Di sebuah kediaman yang hanya ada dua orang sekarang tengah meminta maaf satu sama lain. Setelah selesai yang lebih muda malah duduk di pangkuan yang lebih tua.

Fahri sebenarnya tidak mengizinkan sang anak untuk keluar rumah sakit disebabkan luka di kepalanya pas dini hari tadi. Namun Deva bersikeras mau menjalankan salat eid bersama sang ayah.

Sang duda mengelus rambut sang anak dengan pelan. "Papa akan telepon yang lain untuk kesini agar kamu tidak terlalu capek," ujar Fahri.

Deva menatap wajah teduh ayahnya. "Kita ke makam mama dan adek dulu saja nanti ke rumah kakek nenek setelah itu," ujar Deva.

"Kondisimu kurang sehat nak. Lebih baik kita di rumah untuk tahun ini," ujar Fahri.

"Kalau kepalaku mulai pusing nanti kasihtahu papa kok," ujar Deva.

"Baiklah," jawab Fahri mengalah.

Pria itu mengerti bahwa sang anak merindukan ibunya walaupun hanya mampu berbicara dengan batu nisan sang ibu. Deva turun dari pangkuan sang ayah lantas mereka berdua pergi menuju ke pemakaman terdekat untuk ziarah. Seperti biasa pemakaman sangat ramai ketika momen lebaran. Setelah turun dari mobil Deva memegang tangan kanan Fahri sangat erat.

Sebelum masuk mereka membeli sebuah bunga untuk ditaburkan di makam. Penampilan Deva cukup menarik dia menggunakan baju koko berwarna putih dan sarung berwarna hijau dipadukan dengan sepatu berwarna putih. Sementara penampilan Fahri tidak jauh berbeda dengan Deva hanya dia memakai sarung berwarna merah berbeda dengan sang anak.

Mereka tampak seumuran tanpa tahu bahwa mereka pasangan ayah dan anak beda dua puluh tahun. Cukup lama berjalan mereka tiba dimana Bella dimakamkan dan disebelahnya ada makam sang anak bungsu.

"Assalamualaikum mama dan adek," ujar Deva.

"Hay sayang aku disini seperti biasa bersama putra kita," ujar Fahri.

"Dev pimpin doa ya pah," ujar Deva.

"Baiklah nak," sahut Fahri.

Sang pemuda menutup mata membiarkan setiap ayat suci keluar dari mulutnya. Sang ayah tersenyum menatap wajah sang anak yang fokus membaca setiap ayat suci Al-Qur'an.

"Anak kita semakin sayang. Tahun depan dia akan kuliah dan mungkin saja semakin sibuk dengan dunianya sendiri."

"Dia juga mulai merasakan apa arti jatuh cinta terhadap lawan jenis belakangan ini."

"Tugasku belum selesai disini biarkan aku menemani Dev lebih lama lagi," batin Fahri menatap batu nisan Bella.

"Untuk apa kau membawa anak sialan ini kesini?!" kesal seseorang.

Mendengar suara tersebut Deva membuka mata lalu menatap seseorang yang melihat wajah dia dengan tatapan jijik. Ketika Deva akan mencium tangan orang tersebut malah didorong olehnya.

"Papa Wilson aku memang hanya mantan menantumu tapi Deva tetap saja cucumu," ujar Fahri menatap kesal sang ayah mertua.

"Anakku meninggal disebabkan oleh dia!" desis Wilson menunjuk kearah Deva.

"Ini hari yang baik untuk saling memaafkan pah jadi biarkan putraku mencium tanganmu," ujar Fahri.

"Lebih baik kalian pergi aku tidak suka makam putriku dikunjungi oleh seorang pembunuh," ujar Wilson.

"Baiklah aku pamit. Tapi aku tidak suka akan ucapan papa tentang putraku," ujar Fahri.

Fahri menarik tangan Deva menjauh dari makam Bella membiarkan Wilson disana sendirian. Tidak ada ucapan sama sekali ketika di mobil bahkan Deva memilih menatap keluar.

"Jangan pikirkan ucapan grandpa mu," ujar Fahri.

"Sejak dulu aku memang tidak bisa membenci grandpa seperti ajaran papa dan mama," jawab Deva.

"Kita ke rumah opa dan oma saja ya," ujar Fahri.

"Tidak mau ke rumah keluarga kandung papa dulu?" tanya Deva.

"Entahlah papa sedikit malas," ujar Fahri.

"Biarkan saja nanti Dev yang balas," ujar Deva.

"Hehehe baiklah," tawa Fahri.

Mereka pergi ke rumah dimana keberadaan kedua orangtua Fahri berada. Benar saja disana banyak mobil atau motor terparkir rapih di halaman rumah.

Kedatangan mereka berdua membuat suasana sepi seketika. Fahri terbiasa akan suasana asing disini bahkan tidak masalah mengenai itu walaupun itu menyakitkan bagi hatinya.

Fahri mendekat kepada kedua orangtuanya untuk meminta maaf dan sang anak ikut. Tapi sebuah tarikan tangan menghentikan langkah kaki Deva untuk mendekat kearah ayahnya.

Seorang pemuda yang lebih pendek dari Deva menarik kerah baju Deva. "Kau bebaskan ayahku!" kesalnya.

Deva melepaskan tarikan tersebut dengan mudah. "Ayahmu bersalah atas semua mulut berbisa nya. Sejak kecil ayahku dikucilkan disebabkan mulut busuk ayahmu itu," sindir Deva.

"Anakmu sama saja dengan dirimu Fahri," sindir istri Rivaldo.

"Berarti dia benar-benar putraku," jawab Fahri santai.

"Putramu tidak jauh berbeda denganmu kan yaitu bodoh," ujar seorang wanita berpenampilan menor.

"Tante kalau belum bisa menggunakan make up lebih baik belajar dulu sebelum dengan percaya dirinya keluar dengan penampilan seperti seorang cabe-cabean saja," sindir Deva pedas.

"Bahkan mulut kurang ajarnya juga sama!" kesalnya.

"Daripada tante sudah tua bukannya tobat malah nyinyir terus," sindir Deva.

"Lanjutkan nak!" pekik Fahri.

"Kau gila Fahri anakmu menghina orang yang lebih tua malah didukung!" protes Linda.

"Untuk apa usia tua tapi hobinya mengusik kehidupan orang lain," sindir Deva.

"Daripada kau tidak naik kelas dua kali!" sindir seorang pria paruh baya.

"Masih mending aku yang tidak naik kelas. Itu anak om hamil di luar nikah," sindir Deva.

"Panaskan suasana nak," ujar Fahri mendukung.

"Cih harusnya kau sudah kuliah bukan sebagai anak sekolah berseragam putih abu-abu!" ledek seorang wanita tua.

"Anak tante menjual keperawanan demi bisa mendapatkan nilai bagus kepada dosennya," sindir Deva.

"Jangan ucapanmu!" kesal wanita tua.

"Terlihat kok anak tante bukan perawan lagi bahkan beberapa kali open bo kepada om-om," ujar Deva santai.

"Putriku tidak begitu!" kesal wanita tua.

"Lantas kenapa jalan dia mengangkang kalau bukan habis main kuda-kudaan!" remeh Deva.

"Hebat banget anak gua," puji Fahri.

"Lebih baik kau keluar saja dari sini Fahri!" kesal Rahmat.

"Kakek payah! Cucu sendiri kok dibiarkan berhubungan sedarah dasar," ledek Deva.

Setelah mengatakan hal tersebut Deva dan Fahri meninggalkan rumah untuk beristirahat sejenak membiarkan para tetangga datang sendiri.

Di rumah Deva menceritakan bagaimana caranya dia menemukan fakta tersebut. Dengan santai Deva berkata semua fakta dia dapatkan secara tidak sengaja.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Jumat 19 April 2024

Radeva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang