MAMA

14 0 0
                                    

Siang itu Bagas tengah asik membuat roti bakar kesukaannya di dapur. Tangannya terampil mengoleskan selai coklat di atas selembar roti tawar. Sejak pagi moodnya benar benar baik. Meskipun pagi tadi ia tetap menghadapi kenyataan rutin, yakni mengalami sesak di dadanya.

Kriiing kriiing kriiing, ponselnya berdering dan membuat Bagas menghentikan kesibukannya. Ia berlari mengambil ponselnya yang terletak di atas meja di ruang tengah. Tertera nama mama dalam panggilan masuk di layar ponselnya. 

"Ah, mama? Paling juga mau marah marah lagi." Bagas menghela napas kasar sembari merebahkan diri di sofa panjang yang ada di ruang tengah itu.

Bagi Bagas, notifikasi panggilan dari ayah atau pun mamanya adalah suatu hal yang memuakkan dan cukup mengusik ketenangannya. Sebab, tak jarang mereka menelpon hanya untuk marah pada Bagas. Entah, setebal apa gendang telinganya sehingga kuat mendengar berbagai omelan, hingga bahkan makian dari orang tuanya itu.

"Halo? Iya ma." Ucap Bagas singkat mengawali pembicaraan di ponsel.

"Halo, lagi apa?" Sapa mamanya di seberang sana.

"Bikin roti." Jawab Bagas masih dengan begitu singkatnya.

"Mama mau ngobrol."

"Soal apa?"

"Soal kuliah kamu."

"Iya? Kenapa?" 

"Gimana? Kamu udah tau kan harus ambil apa?"

"Ma, aku sudah bilang dari awal kan. Aku maunya cuma kedokteran aja, gak yang lain." Bagas menghela napas jengah. Ia bosan mamanya terus terusan menanyakan soal kuliah padahal sudah bulat tekadnya memilih kedokteran.

"Kenapa kamu ngeyel sih dibilangin? Kenapa kedokteran? Kamu bisa bikin rap kan? Kenapa gak masuk arsitek aja. Kamu bisa jadi arsitek kayak papa." Nada bicara mamanya mulai tinggi karena merasa bahwa anaknya itu memang sangat bandel di nasehati.

"Gak. Bagas gak minat. Apalagi jadi kayak papa." Jawab Bagas tegas.

"Kapan sih kamu bisa dengar kata mama? Semua omongan mama selalu kamu remehkan. Gak pernah ada kamu hiraukan mama ngomong." Jawab mamanya jengkel.

"Memang mama juga pernah dengar aku ngomong?"

"Jawab terus kamu. Selalu salahkan mama, padahal kamu yang salah."

"Mama gak pernah merasa salah kah?"

"Pantes aja papamu kesel setiap ketemu kamu. Gak usah munafik, di depan orang aja keliatan baik, kelakuannya begini."

"Maksud mama apa? Aku munafik sama siapa? Aku selalu baik sama semua orang, sama mama juga aku maunya baik, tapi mama selalu cuma bisa marah marah setiap telpon aku."

"Jadi anak durhaka banget sama orang tuanya. Mama sumpahin, semoga kalau kamu punya anak, anaknya durhaka seperti kamu." Teriak mamanya di seberang sana.

Deg! Detak jantung Bagas seakan berhenti berdetak sejenak. Hatinya tiba tiba terasa begitu perih. Seorang ibu yang dalam benaknya adalah tempat begitu damai, sosok yang seharusnya merangkul ketika ia dalam rasa gundah dan diterpa banyak masalah, tapi justru menjadi sosok yang gemar membuatnya menahan amarah. Terlebih, baru saja ia dengar sendiri terlontar kalimat sumpah dari mulut mama untuknya. Sumpah yang katanya adalah sumpah yang paling berpengaruh di dunia, sumpah seorang ibu. Hatinya begitu sakit, bagaimana tidak jika yang mengucapkan itu adalah mamanya. Mama yang dulu selalu memeluknya ketika ia berlari masuk rumah sepulang sekolah, dan mama yang gemar membuat brownies kering kesukaannya di hari libur. 

"Ma? Mama gak salah ngomong? Mama nyumpahin aku? Mama tau kalau sumpah seorang ibu itu nyata? Mama tega ngomong itu sama aku?" Tanya Bagas dengan nada lirih.

"Iya. Mama capek kamu selalu kayak gini. Mama mau kamu sama mama gak bertengkar terus. Tapi kamunya gak pernah ngerti perasaan mama." Jawab mamanya setengah terisak.

"Mama capek? Bagas lebih capek ma. Mana ada mama pernah telpon aku untuk tanya kondisi aku. Mana pernah mama bilang iya nak mama paham, adanya selalu aku yang bilang iya ma Bagas paham. Mama selalu merasa paling sakit, tanpa mama pikir Bagas juga sakit." Jawab Bagas setengah membentak.

"Berani bentak mama kamu sekarang? Awas aja kamu nyesel kalau mama udah gak ada." Jawab mamanya juga dengan nada membentak.

"Apa? Sebelum mama gak ada, aku dulu yang gak ada. Aku yakin, bukan aku yang nyesel duluan, tapi mama. Anak mama ini sakit, sebentar lagi mati, mama gak ada kah mau dekat sama aku lagi sebelum aku mati?" Air mata yang ditahannya sedari tadi pun pecah. Hatinya sudah sangat sakit, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

"Kamu sakit karena kamu sendiri. Kamu yang buat diri kamu sendiri sakit kan? Kamu gak pernah nurut sama orang tua, makanya sakit. Mama gak peduli lagi kalau kamu nanti kenapa napa lagi." 

"Oke, memang sejak kapan mama peduli sama Bagas. Dulu waktu Bagas kecil, mama masih peduli. Semenjak mama nikah sama laki laki gak tau diri itu, mama jadi berubah." 

"Bagas! Mulut kamu jangan sembarangan. Dia juga papa kamu sekarang." Bentak mamanya tak terima karena suaminya disebut tidak tau diri oleh anaknya sendiri.

"Papa? Aku gak pernah punya papa. Benar kan ma? Mama memang udah gak peduli sama aku lagi karena laki laki itu. Satu lagi, Bagas gak minta mama peduli ketika Bagas sakit. Silahkan, jangan pernah datang ke rumah lagi ketika Bagas sakit. Gak usah ma, mau Bagas hampir mati sekalipun gak usah bawa bawa Bagas ke rumah sakit."

"Awas kamu sama papa nanti ya. Jangan nangis kamu kalau dipukul sama papa lagi." Ancam mamanya.

"Gak akan, udah kebal." Jawab Bagas singkat.

Bagas menekan tombol merah di ponselnya. Sambungan telpon itu terputus. Hatinya hancur dan perasaannya benar benar kacau. Matanya masih terus dialiri air mata. Hilang sudah selera makannya tadi. Dadanya juga mulai terasa sakit. Sesaknya mulai menyerbu perlahan. Namun, Bagas sama sekali tidak punya minat untuk mengatasi sesak itu. Semacam ingin sengaja membiarkan sesak itu bersamanya. 

Bagas berlari ke kamar. Langkahnya tertuju pada meja kecil di pojok kamarnya. Ia meraih sebuah foto dengan pigura cantik yang ada di atas meja. Foto itu tak lain adalah fotonya dengan mama. Foto yang diambil ketika ia lulus dari sekolah dasar, tampak senyum lebar keduanya di foto itu. Bagas tersenyum getir menatapnya. Tangannya gemetar, tangisnya semakin menjadi jadi.

Prang! Suara pecahan kaca terdengar nyaring. Iya, Bagas melempar pigura foto itu. Pecahannya berserakan di lantai dan hampir mengenai kakinya. Bagas tersenyum puas, hatinya seakan berteriak bahwa semua kini telah selesai. Ia merebahkan diri di kasur tanpa berminat membersihkan pecahan kaca tadi. Tangisnya masih terus terdengar, mengantarnya terlelap dalan rasa kantuk. Ia mengantuk, meski dadanya masih terasa sakit tapi ia tidak peduli. 

"Bodo amat. Gua mati juga terserah. Gua capek." Ucapnya di sela isak tangisnya.


Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang