RUMAH SAKIT

11 0 0
                                    

Mobil itu berhenti tepat di depan pintu masuk unit gawat darurat rumah sakit. Dokter jaga dan para perawat bersiap membantu memindahkan tubuh Bagas dari dalam mobil ke brankar rumah sakit. Dengan gerak cepat, petugas medis membawa Bagas masuk ke dalam ruang periksa. Nampak, dari kejauhan Dokter Arta-dokter spesialis penyakit dalam yang menangani Bagas-berlari kecil menuju ruang periksa. Sebelum masuk ruang periksa, Dokter Arta menyempatkan diri menemui mama Bagas untuk menanyakan kondisi yang terjadi terhadap pasiennya itu.

"Bu, Bagas kenapa lagi?" Tanya Dokter Arta meminta penjelasan kondisi Bagas.

Mama menjelaskan pada Dokter Arta terkait Bagas yang baru beberapa hari yang lalu minum minum bersama teman temannya, dan Bagas yang hari ini pingsan karena tidak bisa menahan rasa sesak dan sakit di dadanya. Dokter Arta menyimak dengan seksama sembari mencatat poin poin penting di lembar rekam medis milik Bagas. Setelah semua informasi dirasa cukup, dokter itu bergerak masuk ke ruang periksa.

Disana, selang infus sudah terpasang dengan baik. Dokter Arta mulai memeriksa ritme detak jantung Bagas dengan stetoskopnya. Terdengar detaknya begitu cepat, dokter itu mengangguk tanda mengerti mengapa pasiennya bisa merasakan sakit di dadanya. Itu semua karena detak jantungnya ya begitu cepat, wajar bila menimbulkan sakit di dada. Kemudian, Dokter Arta mulai meminta bantuan perawat yang bertugas untuk memasang alat elektrokardiogram atau yang akrab disapa ekg pada dada, lengan, dan kaki pasiennya. 

Dalam hitungan menit, alat itu sudah menempel pada dada Bagas. Monitor mulai menampilkan simbol simbol berbentuk seperti sandi rumput yang sebenarnya merupakan simbol kelistrikan yang mengalir pada jantung. Dokter Arta juga mulai mencatat bagian dari tanda tanda vital pasien seperti tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, serta laju pernapasan. Setelah itu, perawat juga mulai memasang selang oksigen pada Bagas atas perintah dari Dokter Arta juga.

 Detak jantung Bagas masih tak kunjung stabil. Mau tidak mau, Dokter Arta harus mengambil tindakan dengan menyuntikkan cairan obat untuk menurunkan detak jantungnya yang sangat cepat. Dengan harapan setelah dua jam disuntikkan, obat itu bisa bekerja dengan baik dan membuat detak jantung Bagas kembali stabil. Sembari menunggu Bagas sadar, ia di antar perawat untuk menuju ruang rawat inap. Ruangan yang entah sudah berapa kali Bagas kunjungi selama sebulan terakhir. 

Sementara itu, Rara tengah gelisah tak henti hentinya merapalkan doa usai tau dari Rania jika Bagas dilarikan ke rumah sakit. Foto Bagas yang dikirimkan Rania benar benar sukses membuat Rara tersenyum gemas melihat Bagas yang tengah tengkurap di sofa. Namun, gadis itu juga khawatir setelah tau kondisi Bagas benar benar buruk. "Aku percaya, meski tuhan kita beda tapi doaku akan tetap di dengar. Gak ada tuhan yang gak mau mendengar permintaan hambanya." Monolog Rara dalam hatinya sembari terus merapalkan kalimat kalimat pujian diselipi dengan doa pada tuhannya.

Dua jam berlalu dengan cepat. Tepat sesuai perkiraan Dokter Arta, dalam waktu dua jam obat tadi akan bekerja efektif, detak jantungnya mulai stabil. Perlahan Bagas juga mulai mengerjapkan mata, tanda bahwa ia akan segera kembali dari alam bawah sadarnya. Mama segera memberi kabar pada Dokter Arta bahwa putranya itu akan segera sadar dari pingsannya. Dalam hitungan menit, Dokter Arta sudah muncul di balik pintu ruang rawat inap. Dokter menghampiri Bagas yang tengah sibuk dengan usahanya untuk membuka mata. Suara halus Dokter Arta menyapa mengalun lembut di telinga Bagas.

"Halo nak, ayo di buka matanya. Pingsannya udah cukup ya, jangan lama lama." Sapa Dokter Arta.

Dengan begitu susah payah, akhirnya Bagas bisa kembali membuka matanya. Dokter Arta menyambutnya dengan senyum yang begitu tulus dan menenangkan. Bagas merespons senyum itu dengan senyum kaku di sudut bibirnya. Bagi Bagas, bertemu Dokter Arta memang menenangkan tapi juga mengerikan sebab itu artinya ia kembali berada di bawah bangunan memuakkan yang bernama rumah sakit. 

"Ada yang sakit nak?" Tanya Dokter Arta memastikan kondisi pasiennya.

Bagas hanya menggeleng lemah. Suaranya masih tercekat di tenggorokan, pita suaranya belum mampu menghasilkan suara dengan baik. 

"Nanti kalau ada yang sakit, seperti biasa ya. Jangan malu panggil dokter atau suster disini. Pencet aja belnya, nanti suster jaga atau dokter pasti datang kok. Oke?" Ucap Dokter Arta lagi.

Bagas mengangguk setuju. Walau sebenarnya hatinya berkata tidak. Entah, Bagas merupakan pasien yang cukup unik. Ia di rawat di rumah sakit, tapi ia sangat tidak mau menyusahkan dokter atau suster yang ada disana. Dulu pernah sekali ia merasa kesakitan, tapi tetap tidak mau memanggil dokter atau suster jaga, hingga akhirnya suster yang kebetulan lewat di depan ruang inapnya lah yang mengetahuinya. 

Usai memastikan kondisi Bagas benar benar baik, Dokter Arta pamit untuk melanjutkan pekerjaannya mengurus pasien lain. Bagas tak lupa mengucapkan terima kasih pada Dokter Arta karena telah membantunya. Setelah Dokter Arta keluar dari ruangan, Mama di ikuti papa tirinya masuk ke ruangan. Bagas menatap keduanya dengan tatapan yang begitu datar. Sama sekali tidak ada ekspresi yang tercetak di wajahnya.

"Siapa yang suruh bawa aku kesini?" Suaranya datar tanpa nada terdengar mengalun memenuhi isi ruangan.

Mamanya terdiam tak berminat mengucap sepatah dua patah kata pun. Mamanya tau betul, Bagas masih marah usai kejadian perdebatan beberapa hari yang lalu, ditambah Bagas memang sangat benci dengan rumah sakit, pasti hal itu membuat Bagas tidak suka atau bahkan marah. 

"Kenapa gak jawab ma? Aku sudah bilang, mama gak perlu repot datang atau bawa aku ke rumah sakit pas waktu aku sakit. Udah biarin aja, biar cepat mati. Itu kan mau mama? Mama mau aku cepat pulang ke tuhan kan? Lagian ngapain juga aku bertahan, aku juga udah gak ada gunanya buat mama." 

"Bagas! Jangan bentak mama kayak gitu!" Papa tirinya mulai bersuara setelah mendengar Bagas berbicara dengan nada tinggi pada mamanya.

"Lo diam! Gua gak pernah nganggap lo ada dalam hidup gua!" Bagas mengangkat telunjuknya mengarah pada wajah papa tirinya. Ia semakin kesal karena ada orang yang berusaha ikut campur urusan antara dirinya dengan mama.

"Rania yang telpon mama untuk bawa kamu ke rumah sakit. Harusnya kamu bersyukur masih ada yang peduli sama kamu." Jawab mamanya dingin.

"Jelas, Rania jelas peduli karena dia adik aku. Dia menjalankan perannya sebagai adik dengan baik. Bukan seperti mama, mana peran mama di dalam hidup aku? Oh ada, mama berperan supaya aku cepat pulang ke tuhan." 

"Bagas! Cukup!" Papa tirinya bersuara lagi.

"Apa? Lo mau marah? Siapa lo di hidup gua? Tolong, kalian pergi dari sini. Gua minta baik baik kalian pergi dari sini." 

"Rania nitip ponsel kamu ke mama, katanya kamu bangun pasti cari ponsel." Mamanya meletakkan ponsel Bagas di atas nakas yang ada di sebelah tempat tidur. Kemudian, wanita itu mulai melangkah keluar dari ruangan yang di ikuti oleh suaminya di belakangnya.

Kini, tinggal lah Bagas sendiri di ruangan itu. Bagas mulai menghela napas panjang, berusaha menstabilkan emosinya kembali. Ia menatap sekeliling, tembok rumah sakit yang selalu memuakkan saat di tatap, wangi lantainya yang menusuk indra penciuman, serta ramainya ekg yang memekakkan telinga. Bagas membenci semua tentang rumah sakit.

"Tuhan, Gua kapan sih di rumah sakit bukan buat sakit. Gua suka di rumah sakit asalkan gua yang jadi dokternya, bukan jadi pasien kayak gini." Monolognya.

Ia meraih ponsel yang ada di atas nakas. Satu hal yang ingin ia lakukan dengan ponsel itu adalah memberi kabar pada Rara. Ia merasa sudah cukup lama meninggalkan Rara sendiri dengan segala kekhawtiran yang pasti membersamai gadis itu. Namun, ponselnya malah mati karena kehabisan baterai. Bagas berdecak kesal, ia bingung bagaimana caranya ia bisa mencharger ponselnya jika chargernya saja ada di rumah. 

"Lala, maafin aku gak bisa kabari kamu. Ponselku mati, huhuuu." Hatinya bersuara, berharap disana Rara bisa mendengar suara hatinya itu.

"Tuhan, tolong buat Rara tidur. Kasihan banget pasti dia kepikiran gua mulu dari tadi. Tolong, bikin dia tidur nyenyak. Pasti dia capek seharian sekolah, bukannya istirahat malah mikir gua yang gak jelas gini." Monolognya.

Tanpa ponsel, Bagas benar benar bosan sendirian di ruangan itu. Ia berkali kali menguap, kantuk mulai menyerangnya. Namun, ia enggan menutup matanya dengan alasan ia sudah terlalu lama tidur. Padahal bukan tidur, melainkan pingsan. Dalam kesunyian ruangan itu, ia berharap Rania akan muncul di balik pintu ruang inap dengan membawa charger untuk ponselnya. Ia juga ingin menelpon Rania untuk datang membawakan gitar untuknya. Disaat pikirannya sedang suntuk, lagu adalah media tepat untuk mengungkapkan segalanya.

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang