INTERVIEW DATE

11 0 0
                                    

Sejak pagi Rara meringkuk di kamar hotelnya. Bahkan pancaran cahaya matahari yang menyapa di balik tirai yang menutup jendela kamar hotelnya pun tak dapat mengganggu kekhusyukan tidurnya. Mungkin ini efek karena semalam gadis itu membaca puluhan halaman jurnal yang digunakan sebagai penunjang tugas penelitiannya itu. 

Dering telpon dari ayahnya lah yang membangunkan Rara dari lelap tidurnya. Total ada sekitar 12 panggilan tak terjawab dari ayahnya. Rara mengucek mata lembut sembari remang remang menatap layar ponselnya. Paniknya bukan main saat melihat ada 12 notifikasi panggilan tak terjawab dari ayah. Rara yakin ia pasti akan dimarah habis habisan setelah ini. Alasannya tentu saja karena tidak menjawab panggilan telpon ayahnya.

Rara mengetuk tombol panggil untuk menghubungi ayahnya balik. Benar saja, baru pada suara dering kedua saja sudah langsung diangkat. Terdengar suara ayah membuka obrolan dengan nada yang sudah cukup tinggi.

"Halo, kamu kemana aja?"

"A-anu yah, aku tidur dari pagi. Gak dengar suara dering telponnya." Jawab Rara terbata-bata.

"Halah, katanya ke Surabaya mau penelitian. Jebule malah turu nyenyak, piye toh nduk." Jawab ayah dengan aksen medoknya.

"Ya kan aku tadi malam sudah begadang baca jurnal, gak apa dong paginya molor dikit."

"Udah! Bangun gih! Arek wedok tangi awan, ra umum blass." Ayah menutup sambungan telpon.

Rara berdecak sebal, ayah mengganggu waktu tidurnya yang begitu nyenyak. Rara ingin melanjutkan tidurnya lagi, tapi buru-buru tersadar bahwa tujuannya datang kesini adalah untuk menyelesaikan tugas, bukan untuk leha-leha di kamar hotel. Ia mengurungkan niatnya untuk tidur lagi, kakinya melangkah ke kamar mandi yang ada di sudut dekat pintu masuk kamarnya. Gadis itu mengguyur badannya dengan air dengan harapan kantuknya akan hilang dan tubuhnya menjadi lebih fresh. Setelah selesai mandi, Rara duduk di meja belajar yang berhadapan langsung dengan jendela hotelnya. Disana buku buku tebal yang juga ia baca semalam masih berserakan begitu saja. Gadis itu segera merapikan semuanya dan menyimpannya kembali ke dalam lemari yang ada di sudut kamar hotel itu.

Kemudian, tangannya meraih ponsel. Ia mencari room chat milik Bagas.

Rara: 

Bisa ketemu gak?

Sekalian wawancara buat tugasku, hehe.

Sementara yang dikirimi pesan oleh Rara, ia sedang terbaring di tempat tidur sembari menghirup udara yang di pancarkan oleh alat bernama nebulizer. Siang ini sesaknya muncul lagi, sehingga mau tak mau ia harus membutuhkanbantuan nebulizer agar bisa kembali bernapas dengan baik. Setelah pemakaian nebulizernya selesai, Bagas langsung meraih ponselnya yang tadi membunyikan sebuah notifikasi pesan masuk. Ia menelan salivanya perlahan saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Rara. 

"Gila, lala ngajak ketemu sedangkan gua lagi sakit gini. Gimana caranya anjir, masa gua harus nolak. Mau pakai kebohongan macam apa lagi." Monolog Bagas.

Laki-laki itu terdiam sejenak. Otaknya bergerak mencari seribu satu alasan untuk menolak ajakan Rara bertemu. Bukan karena Bagas tidak ingin bertemu Rara, tapi kondisi tubuhnya sedang tidak terlalu mendukung. Setelah berpikir lama, keputusannya adalah Bagas akan tetap bertemu Rara walau kondisinya sedang kurang baik saat ini.

Bagas:

Halooo.

Boleh boleh, sekarang aku ke rumah sakit lagi buat nyelesaikan yang kemarin belum selesai.

Ketemu di rumah sakit lagi yaa, mau di kantin lagi?

Rara:

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang