PULANG

15 0 0
                                    

Pagi kembali menyapa. Matahari bersinar cerah dan menelisik ke dalam celah terkecil sekalipun untuk menerangi gelap. Gadis itu baru saja terlelap sekitar satu jam yang lalu setelah tangisnya mereda. Ia tertidur di rooftop dengan bersandar pada dinding dan dengan posisi duduk dengan lutut di tekuk untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah membengkak karena efek tangisnya. Ia masih saja terlelap walau tubuhnya terpapar cahaya matahari langsung, mungkin kantuknya benar-benar susah untuk melepaskannya bangun.

Namun, sebuah suara halus mengalun sopan di telinganya.

"Lala, ayo bangun. Aku masih mau ketemu kamu buat terakhir kalinya." 

Ya, itu suara Bagas. Gadis itu terperanjat dari tidurnya. Tatapannya seperti orang linglung sembari menengok ke sekelilingnya. Rara bermimpi seperti mendengar suara Bagas memintanya untuk bangun. Gadis itu bangkit dari duduknya dan bergegas menuju toilet rumah sakit untuk sekedar cuci muka. Setelah itu, ia kembali ke ruang inap Bagas.

Disana, nampak Mama Bagas tengah berkemas untuk segera mengurus kepulangannya. Rara dengan langkah gontai masuk ke dalam ruangan itu. Disana ia kembali menatap wajah Bagas yang terlihat amat tenang dalam tidur panjangnya.

Rara tersenyum getir. "Kenapa ending dari ceritanya seperti ini?"

Rara meraih telapak tangan Bagas yang sudah tidak lagi terasa hangat seperti kemarin saat ia masih menggenggam tangannya dengan kuat. 

"Sekarang, aku yang genggam tangan kamu. Sudah bukan kamu lagi yang genggam tangan aku. Bahkan, aku ikhlas kok meski kamu genggam tangan aku kuat-kuat sampai tanganku merah kayak kemarin. Cuma, sekarang udah gak bisa lagi ya?"

Bibir Bagas mulai membiru seiring berjalannya waktu setelah saat terakhir ia menghembuskan napasnya. Namun, entah mengapa wajahnya masih terlihat sangat menenangkan. Bahkan, seperti tidak nampak tanda-tanda ia merasakan sakit ketika hembusan napas terakhirnya.

Rara terus menatap wajah Bagas. Di hatinya masih terasa jelas perasaan sedih dan kepedihan itu. Gadis itu juga mulai kembali meneteskan bening air matanya setelah mengingat beberapa saat lagi wajah menenangkan itu tidak akan pernah ia lihat lagi untuk selamanya. Rara juga merasa lemas saat mengingat jika tubuh di depannya itu nantinya akan hancur lebur menjadi abu.

"Tante, Bagas nanti akan di ngaben ya?" Tanya Rara sesenggukan pada Mama Bagas.

Mama yang tengah sibuk mengemas barang-barang berhenti sejenak. Wanita itu menghampiri Rara dan menyentuh pundak Rara pelan.

"Iya, nanti Bagas akan di ngaben. Kenapa Rara?"

Rara menggeleng pelan, "pasti sakit ya tante? Bagas bakal kena api yang panas banget. Aku gak sanggup ngebayanginnya."

"Rara, memang sudah ketentuan di agama kami seperti itu. Bagas tidak akan sakit, justru ia akan menemukan ketenangannya disana. Doakan saja, semoga Bagas bisa mendapat tempat terbaik disisi tuhan dan semua kebaikannya di dunia selalu menyertainya." Terang Mama Bagas dengan lembut.

Rara mengangguk tanda mengerti. Namun, dalam benak gadis itu tetap masih berusaha menolak. Ia benar-benar tidak ingin tubuh Bagas itu akan hancur jadi debu karena panasnya api yang nanti membakar tubuhnya. Namun, Rara mencoba untuk mengerti jika menurut agama dan kepercayaan Bagas itulah yang akan mengantar mendiang menuju ketenangan.

"Tante, nanti abunya jadi di larung di sanur?" Tanya Rara lagi.

Mama Bagas mengangguk mengiyakan. "Bagas yang minta dari dulu. Dia mau abunya di larung di tempat yang sama seperti adiknya."

Rara kembali tersenyum getir. "Senang ya? Kamu bentar lagi ketemu adik kamu lagi. Kamu juga udah gak merasa sakit lagi. Kamu udah say good bye sama semua rasa sesak kamu yang suka muncul tiba-tiba itu kan? Kamu pasti senang banget bisa terbebas dari semua itu."

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang