INI AKU, RARA

33 2 0
                                    

Halo, namaku Rara. Mutiara Ayshilla nama lengkapku, tapi orang orang sering memanggilku Rara. Aku putri tertua dari dua bersaudara. Adikku laki-laki, usianya terpaut jauh denganku. Ayah dan mama bukan orang yang bisa dibilang kaya, hanya mampu mencukupi sebagian kebutuhan hidupku dan adik. Masalah ekonomi tersebut membuat aku tidak terlalu dekat dengan mama karena sejak aku kecil mama jarang menghabiskan waktu denganku karena sibuk bekerja. Aku lebih dekat dengan ayah, tapi aku juga sering merasa kesal pada ayah. Ayahku adalah sosok ayah yang sangat posesif, bahkan posesifnya sedikit terlalu berlebihan. 

Aku adalah remaja berusia 17 tahun, tapi entah mengapa hidupku terasa seperti sudah lebih dari 17 tahun. Semua berawal ketika aku berusia 14 tahun, keadaan tiba tiba memintaku untuk menjadi lebih dewasa dari umurku yang sebenarnya. Lagi lagi semua tentang masalah ekonomi. Aku tidak tau sudah berapa banyak airmata yang luruh dari mataku dan membasahi pipiku sejauh ini. Hanya saja, aku masih berusaha berpikir jernih bahwa akan selalu ada kebahagiaan di ujung perjalananku nanti. 

Aku pernah merasa ingin segera mengakhiri hidup yang begitu monoton ini. Aku pernah berpikir tidak wajar hingga menyakiti diriku sendiri, mungkin kalian pernah mendengar istilah self harm, ya aku melakukan itu. Dulu, bagiku warna merah darah yang mengalir di pergelangan tanganku adalah sama halnya dengan luka yang menggores habis hati dan perasaanku. Di tengah badai yang menghantam hidupku, tuhan seolah mengirimkan mukjizatnya. Aku mengenal seorang sahabat dari dunia maya yang asalnya jauh dari kota metropolitan sana, Bekasi. Dalam waktu yang hampir bersamaan, aku juga mengenal sesosok laki laki yang kala itu juga tengah tidak baik baik saja hidupnya. Berawal dari teman, hingga akhirnya aku bertekad ingin menjadi lebih sekedar teman baginya. 

Kala itu, di tengah hidupnya yang sedang kacau, aku berusaha menjadi rumah tempat ia pulang. Awalnya semua berjalan begitu manis. Namun, dari awal aku sudah tau bahwa tidak akan pernah semanis itu. Lambat laun semua berubah, sikap yang tadinya mampu membuat aku pun merasa nyaman, perlahan seolah mengusik dan memintaku pergi dari hidupnya. Aku pernah merasa kecewa karena aku merasa disaat ia tidak baik baik saja, aku selalu ada untuknya. Namun, ketika aku yang tidak baik baik saja, ia seolah acuh dan tidak mau ambil pusing denganku. Kala itu, aku berusaha memahami kesibukannya. Tapi, aku memang bukan perempuan sekuat itu, aku menyerah untuk sekedar bertahan menjadi rumah baginya. Aku mengucapkan kata putus yang ternyata ia sendiri pun dengan ikhlas tanpa pikir panjang bisa mengiyakannya.

Semenjak itu, aku masih terus mencari arti dan makna cinta yang sesungguhnya. Aku sempat beberapa kali jatuh hati dengan teman sekolah, tapi akhir ceritanya selalu sama, aku selalu harus ikhlas melihatnya bahagia dengan sosok yang ia pilih. Sejak itu, aku merasa bahwa aku memang tidak layak mendapat cinta selain dari cinta yang ayah dan mama beri. Aku jadi ragu akan kalimat masa remaja adalah masa yang indah. Aku pernah memprotes tuhan, mengapa masa remajaku tak seindah yang aku saksikan di hidup teman temanku.

Berbicara tentang fisik, aku bukanlah perempuan yang dengan cantiknya mampu menarik perhatian banyak pasang mata. Aku tidak pernah merasakan itu. Aku sadar, bahwa memang bukan itu kelebihanku. Namun, aku tidak pernah sekalipun merasa bahwa itu adalah suatu rintangan untukku mendapatkan cinta yang tulus nantinya. Aku selalu berusaha berpikir positif bahwa cinta seseorang tidak dilihat dari sekedar penampilan saja. Semenjak itu, aku menjadi perempuan yang hidupnya di penuhi dengan berbagai ambisi. Aku selalu berkata pada diriku, bahwa aku tidak akan pernah bisa mengejar kata cantik, tapi aku bisa mengejar kata baik. Aku mengejar banyak hal, aku berusaha mengejar banyak prestasi di sekolah, tujuannya supaya setidaknya jika bukan karena cantik, aku akan disukai karena aku pandai.

Jatuh bangun aku mengejar kata sempurna, namun memang manusia tidak akan pernah mencapai sempurna. Puluhan atau mungkin ratusan kata semangat mengalir dari sekitarku, namun aku sama sekali tidak merasakan dampak dari kata itu. Rasanya hampa sekali. Bahkan, aku belum tau alasan aku hidup hingga detik itu. 

Aku sering sekali rapuh. Aku sering sekali menangis. Namun, dunia terkadang memang jahat. Bahkan, ketika aku sedang berteriak mengatakan bahwa aku tidak baik baik saja, dunia tetap berjalan seolah tidak ada yang sedang mengusiknya. Aku menyadari, bahwa takdir hidupku memang serumit ini, dan memang beginilah alurnya. Aku selalu bertekad untuk mengubah alur ini, jika tidak bisa, mungkin sekedar menambahkan warna lain selain hitam dan putih di dalamnya.

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang