INGIN PULANG

8 0 0
                                    

"Halo Bagas. Bangun dong, gua sendirian." Sebuah suara mengalun pelan di telinga seorang Bagas. 

Laki-laki itu tak pernah bisa benar benar lelap jika berada di rumah sakit. Wajar bila sedikit suara mengganggu saja bisa membangunkannya. Lamat lamat Bagas membuka matanya mencari arah datangnya suara.

Disana Rania berdiri di sisi tempat tidur Bagas dengan wajah penuh kebosanan. Sudah 30 menit lebih gadis itu ada di ruangan inap Bagas tanpa sepengetahuan Bagas sendiri. Bagas menatap Rania dengan raut wajah penuh pertanyaan.

"Lo? Kenapa disini?" Bagas membuka pembicaraan.

"Itu mau antar charger hp lo. Gue tau tadi hp lo mati, makanya gue antar chargernya. Sudah gue chargerin juga kok hp lo, bentar lagi juga penuh." 

"Makasih." Ucap Bagas yang dibalas oleh anggukan kecil Rania.

"Ngomong-ngomong lo gimana kondisinya sekarang?" Rania menatap wajah kakaknya yang begitu sayu.

"Gak tau, perut gua perih. Kayaknya gua udah mau mati deh." Sahut Bagas dengan tatapan kosong menatap langit langit ruangan itu.

"Dih, ngomongnya. Tadi aja bilang gak mau mati karena baru jadian, sekarang udah beda lagi?"

"Gak gitu. Sebenarnya gua juga gak mau anjir. Gua masih pingin bertahan, cuma gua punya firasat kayaknya emang udah gak lama lagi. Nanti kalau gua mati, lo gimana?"

"Ya gue nangis lah. Tega banget lo ninggalin gue sendirian. Curang dong lo nyusul Gio duluan." Rania berusaha menyembunyikan matanya yang sedikit berkaca-kaca. Ingatannya tentang sakitnya kehilangan Gio-kakak keduanya-masih berbekas dan sulit dilupakan.

"Sebenarnya, bukan gua yang ninggalin lo. Lo yang bakal ninggalin gua. Setelah gua mati, ya gua bakal stuck disitu-situ aja. Sedangkan lo yang hidup bakal terus melanjutkan kehidupan dan pelan pelan pasti bisa melupakan gua. Setelah itu jelas kan, siapa yang sebenarnya meninggalkan?" Bagas menatap adik perempuannya yang tengah menundukkan wajah berusaha menyembunyikan kesedihannya.

"Iya juga sih. Tapi jangan lah gitu. Masa lo tega sih anjir biarin gue hidup sendirian. Gua jadi gak ada kakak dong nanti. Nanti juga kalau gua mau jajan minta duit ke siapa? Minta mama kan lo tau sendiri susahnya gimana, hehe." Rania berusaha mengalihkan suasana yang tadinya sedih dengan sebuah candaan kecil.

"Ih lo yang dipikir jajan doang!" Bagas menyentil kening adik perempuannya itu.

Sejenak mereka terdiam, sibuk berkutat dengan pikirannya masing masing. Bagas memikirkan perkataan Rania dan mengiyakan kebenaran perkataan adiknya itu. Sebab ia tau, sekarang ia adalah satu satunya orang yang bisa menjadi tameng untuk Rania dalam keadaan apapun, orang yang kiranya bisa menggantikan figur seorang ayah dalam hidup adik perempuannya itu. Ya meskipun ada papa tirinya, tapi figur ayah yang punya ikatan batin dengan yang tidak tentu saja tidak sama, dan Bagas sebagai saudara kandungnya berusaha menggantikan peran ayah yang seharusnya dilakukan oleh ayah kandungnya itu. 

"Lo nanti jangan pacaran sama cowok cowok gak benar ya. Carilah cowok yang benar, kayak gua gini lah minimal." Bagas tersenyum jail menatap Rania.

"Gak usah lo bilangin juga gua udah tau." Rania menjawabnya dengan nada sebal. Bagas memang suka sekali usil pada adiknya itu.

"Ngomong-ngomong, kok lo bisa jadian sama Rara dah? Lo beneran suka ya sama dia?" Rania memulai aksi keponya.

"Gak perlu tau. Kepo ya lo?" Bagas balik membalasnya dengan nada yang menyebalkan.

"Iyalah kepo. Lo tuh dari dulu kalau sama cewek emang sat-set banget ya? Tiba-tiba aja jadian, gak tau gimana pdktnya padahal."

Bagas tersenyum tipis. Adiknya itu bisa berubah menjadi banyak karakter dalam satu waktu. Bisa tiba tiba menjadi manusia yang sangat melow. Bisa menjadi manusia yang begitu julid. Bisa juga menjadi seperti layaknya seorang detektif. Di mata Bagas, Rania tetaplah seperti anak berusia 7 tahun yang dulu suka sekali berebut mainan dengannya. Bagas sangat menyayangi adik perempuannya itu, terutama setelah ia tau bahwa kehilangan saudara kandung rasanya semenyakitkan itu.

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang