RINDU

20 0 0
                                    

Bagas terdiam melamun di kamarnya. Sudah dari pagi tadi ia menghabiskan waktu dengan duduk terdiam di kamar, bahkan keluar kamar hanya untuk makan siang. Kini laki laki itu menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar, setengah berbaring. Matanya menatap langit langit kamarnya yang begitu sunyi.

Bagi Bagas, setiap hari hidupnya selalu dipenuhi kesunyian, sepi, dan tidak ada yang menarik. Luka luka dalam hidupnya sudah terlalu banyak hingga ia sendiri tidak mampu menceritakan seberapa sakitnya luka itu. Bagas tau dan sadar betul banyak orang yang sebenarnya peduli padanya, tapi orang orang hanya peduli pada masalahnya, bukan pada kepribadiannya. 

Bagas selalu merindukan dan berharap keluarga kecilnya akan utuh kembali, barang kali setelah itu lukanya akan sedikit berkurang. Namun, fakta berkata lain, hal itu tidak mungkin terjadi karena mamanya sudah menemukan kebahagiaan barunya sendiri. Tak hanya soal keluarga, Bagas juga memikirkan tentang sakitnya yang kian hari kian memburuk. Terbesit rasa takut jika ia akan pergi dalam waktu dekat ini. Bagas sakit, ia ingin pergi untuk mengakhiri rasa sakitnya, tapi ia juga takut karena sebenarnya ia masih punya banyak impian yang perlu di wujudkan.

Hadirnya Rara dalam hidupnya, seolah memberi percikan warna berbeda dalam hari harinya dalam beberapa hari terakhir. Sebenarnya, Rara bukan satu satunya orang yang Bagas kenal melalui telegram, tapi entah mengapa yang benar benar bawel padanya hanya Rara.

"Ra, gua tau lo ada perasaan suka sama gua." gumam Bagas. Ia tersenyum tipis lalu tertunduk. Di hatinya ada sebuah rasa yang bergejolak. Rasa itu hadir sejak pertama ia merasa bahwa Rara adalah sosok yang begitu peduli padanya. Bagas menyadari itu, tapi ia masih ragu akankah rasa itu benar benar ada atau hanya sekedar rasa kagum biasa. 

Malam itu, Bagas menatap layar ponselnya. Semacam berharap akan ada notifikasi muncul dari orang yang akhir akhir ini menghiasi harinya yang abu abu. Harapan hanyalah harapan, notifikasi itu tidak muncul. Terbesit rasa aneh di hatinya. Semacam rasa rindu mungkin.

"Kenapa gua kangen? Bukannya semalem gua respon chatnya cuek gitu?" batinnya berbicara.

Hatinya semakin kalut. Ia merindukan sosok itu. Di raihnya gitar yang bersandar di pojok kamarnya. Jemarinya bersiap untuk menari di atas dawai gitarnya. Melodi indah perlahan mengalun, dan suara Bagas yang begitu menenangkan pun mengalun mengisi kesunyian kamarnya. Musik adalah medianya mengekspresikan diri. Setiap berada dalam rasa gundah, musik seakan menjadi solusi untuk sedikit menenangkan diri. 

Andai kau tahu

Betapa ku merindumu

Untarkan semua

Kata-kata manis dari hatimu

Rasakan bebasnya menari ke mimpiku

Atau langsung ke hatiku

Sepenggal lirik lagu itu membuat Bagas kembali terdiam. Musik membuatnya lebih baik, tapi sedikit membuatnya lebih bingung. Lagi lagi ia seolah bertanya pada dirinya sendiri, "Gua beneran nyaman sama Rara?" 

Bagas merasa bahwa ia mulai merasakan yang namanya jatuh cinta. Namun, ia sendiri pun takut. Bagas takut ia akan melukai Rara, Bagas takut ia hanya menjadi kesedihan bagi Rara. Entah darimana asal pikirannya yang seperti itu. 

"Gua takut, kita jatuh cinta, tapi nanti gua malah ninggalin lo sendiri Ra." matanya sedikit berkaca kaca saat menggumamkan kalimat itu. 

Malam semakin larut, dingin mulai menyeruak masuk memenuhi atmosfer kamarnya. Perlahan tapi pasti rasa sesak mulai menyerang Bagas. "Ah sesak lagi, kebiasaan banget. Tuhan, kapan gua bebas?" batin Bagas sembari menyentuh dadanya yang mulai terasa sesak. Bagi Bagas, malam ada sebuah arena dimana ia harus berjuang melawan rasa sesak di dadanya. Ia terus menahan dan masih menahan, hingga akhirnya terlelap dan bertemu dengan alam mimpinya.

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang