PERMINTAAN MAAF

9 0 0
                                    

"Jika besok adalah yang terakhir. Manfaatkan dengan baik." Sebuah suara membangunkan Bagas dari tidur lelapnya. Ia sudah tidur sejak siang tadi dan baru bangun saat menjelang malam. Bagas mengerjapkan mata, ia menatap sekeliling seperti sudah lama ia tidak menatap apa yang dilihatnya di ruangan inap itu. Padahal ia hanya tidur dari siang sampai petang, bukan waktu yang juga sangat lama.

Bagas merasa seperti sesuatu yang aneh telah terjadi, tapi ia tidak tau apa yang sudah terjadi. Ia mengira itu hanya halusinasinya saja, sehingga ia tidak mau ambil pusing dengan memikirkan itu. Bagas mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas dan ia tersenyum tipis saat ada notifikasi favoritnya disana. Namun, saat membuka room chatnya, Bagas mengerutkan dahinya. Bagas bingung dengan apa yang ia baca dari pesan yang dikirimkan Rara. Ia benar-benar tidak mengerti apa maksud dari semua itu.

"Emang? Aku kenapa?" Monolog Bagas bertanya pada dirinya sendiri.

Bagas melihat mama tengah tertidur di sofa yang ada di seberang tempat tidurnya. Ia berniat membangunkan mama untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Satu, dua, hingga tiga kali Bagas memanggil barulah mamanya terbangun. Mama mendekat ke tempat tidur Bagas, barang kali putranya itu membangunkannya karena membutuhkan sesuatu.

"Ma, aku kenapa?" Tanya Bagas to the point.

"Kenapa?" Mama malah bertanya balik pada Bagas.

Bagas mengedikkan bahu tanda tidak tau. Ia menunjukkan chat dari Rara yang ada di ponselnya dan mama membacanya sekilas. Mama menganggukkan kepala tanda mengerti dengan maksud Bagas.

"Rara kayaknya ngambek deh." Ucap mama yang membuat Bagas semakin bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah ia lakukan sehingga membuat Rara bisa mengirimkan long text seperti itu.

"Ma, bisa ceritakan detailnya kenapa Rara bisa ngambek?" 

Mama mengangguk dan mulai bercerita tentang apa yang terjadi pada Bagas dari pagi hingga siang tadi. Mulai dari Bagas yang tiba-tiba minta berhenti melakukan terapi, Bagas yang tiba-tiba menjadi ketus kepada Dokter Tirta, dan Bagas yang sedikit membentak Rara hingga gadis itu menangis.

"Hah? Serius? Aku hari ini kayak gitu ya?" Bagas seakan tidak percaya dengan apa yang diceritakan mama. Pasalnya, ia sendiri tidak merasa melakukan hal yang demikian.

"Iya, malah tadi Rara tuh datang bawa bubur ayam yang kayak kemarin itu. Tapi, kamu malah nyuruh Rara makan buburnya karena kamu bilang kamu masih kenyang. Rara nolak tapi kamu malah nyuapin buburnya ke Rara. Kamu juga nyuruh Rara pulang, mana nyuruhnya kayak bapak lagi marah ke anaknya karena kelamaan main di luar lagi." Terang mamanya lagi.

"Rara nangis, ma?"

"Tadi mama liat dia matanya agak berkaca-kaca gitu sih." Jawab mama jujur.

Bagas benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya dari pagi hingga siang ini. Ia merasa telah membuat kesal banyak orang, termasuk Rara. Bagas merasa bersalah karena ia sudah membentak Rara walau itu ia lakukan dengan tanpa sadar. Bagas belum berani membalas pesan dari Rara. Ia masih memikirkan bagaimana cara ia menjelaskan pada Rara tentang apa yang terjadi padanya sehari tadi. Ia juga tidak yakin Rara akan percaya dengan alasannya itu.

"Ma, terus gimana caranya biar Rara gak ngambek lagi?" Bagas bertanya pada mamanya karena ia sendiri sudah buntu kesulitan menemukan jalan keluar dari permasalahan ini.

"Ya minta maaf dong." Ucap mama memberi saran.

"Aku gak yakin Rara bakal percaya juga kalau aku minta maaf dan jelasin apa yang terjadi."

"Pasti percaya. Kemarin mama juga udah jelasin ke dia. Dia sekarang butuhnya cuma kamu minta maaf aja." Mama meyakinkan Bagas.

Akhirnya setelah dipikir-pikir lagi, benar juga apa yang mama bilang. Bagas kembali membuka ponselnya, ia berniat mengetikkan kalimat maaf kepada Rara.

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang