TERUNGKAP

10 1 0
                                    

Bagas mengendap-endap kembali masuk ke ruang inapnya. Sore itu rumah sakit memang sedang sangat sibuk karena banyaknya pasien baru di ugd. Hal itu seolah menguntungkan Bagas untuk bisa keluar dan masuk secara diam-diam. Buktinya, tidak ada tanda-tanda bekas kegaduhan di ruang inapnya karena Bagas menghilang sebentar.

Bagas kembali ke ruang inap dengan sangat berhasil. Satu hal yang kini ia pikirkan hanya tentang bagaimana harus menjawab pertanyaan dokter atau suster terkait infus yang ia copot sendiri. Di tengah kesibukannya berpikir untuk menemukan alasan yang tepat, Dokter Tirta masuk ke ruang inap Bagas.

"Sore, Bagas." Sapa Dokter Tirta saat memasuki ruangan.

Sementara Bagas terdiam gugup untuk menjawabnya. Raut wajahnya terlihat seperti bingung bercampur ketakutan.

Dokter Tirta tersenyum, "Kenapa panik?"

"E-enggak dok, saya gak kenapa-napa kok." Jawab Bagas dengan gugup.

"Bagas, how about your date?" 

Bagas terdiam seperti membeku. Lidahnya menjadi kelu untuk bisa menjawab pertanyaan Dokter Tirta. Bagas membatin, Bagaimana bisa Dokter Tirta tau tentang rencananya itu.

"Bagas? Are you have fun?" Dokter Tirta bertanya lagi.

"Hmm, yes." Jawab Bagas lirih.

Dokter Tirta tersenyum sembari menganggukkan kepala. Ia juga menepuk pelan bahu Bagas.

"Saya bingung harus marah atau tidak." Dokter Tirta menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Dokter tau darimana rencanaku?" 

"Kamu habis jalan sama Rara di mall seberang taman kota itu kan? Di jam yang sama, saya juga sedang pergi cari makan siang disana." Terang Dokter Tirta.

"Dok, please jangan aduin ini ke mama ya. Aku cuma pingin ngabisin sisa waktu di hidupku dengan bebas." Ucap Bagas memohon.

"Saya gak akan bilang. Tapi kalau mama kamu bertanya, ya saya akan jawab jujur."

Bagas tersenyum sumringah. Ternyata dokternya itu masih bisa di ajak kerja sama. 

"Dok, infusnya gak usah di pasang lagi boleh ya? Saya sudah capek kemana-mana harus pake infus gitu." Mohon Bagas lagi.

Dokter Tirta mengangguk mengiyakan. Dokter Tirta mengerti jika hidupnya Bagas sampai hari ini benar-benar sudah di luar kuasanya. Jika dilihat secara keilmuannya, Dokter Tirta sendiri sudah tidak bisa berbuat apapun terhadap kondisi Bagas. Namun, Bagas tetap bisa hidup sampai hari ini itu berkat kepanjangan tangan tuhan.

Sementara Rara, gadis itu tengah terlelap karena kelelahan sepulang jalan-jalan bersama Bagas. Ia tidur dengan sangat nyenyak. Namun, di tengah tidurnya tiba-tiba ia bermimpi tentang dirinya dan Bagas.

Dalam mimpinya, ia melihat dengan jelas Bagas menggandeng tangannya menuju tepian pantai dengan jurang yang amat dalam di sisi kirinya dan tebing yang sangat tinggi di bagian kanannya. Saat itu, baik Bagas ataupun Rara sama-sama memakai baju serba putih. Bahkan baju yang Rara pakai adalah gamis yang siang tadi baru Bagas beli untuknya. Dalam mimpi itu, Rara melihat Bagas memberikan sesuatu padanya tapi tidak nampak jelas sesuatu apa yang Bagas berikan. Namun, disitu Rara menerimanya dengan sangat senang. Bahkan ia sampai menangis terharu saking senangnya.

Rara terbangun dari tidurnya. Ia meraba pipinya, nampak basah di pipinya. Gadis itu benar-benar menangis karena mimpinya tadi. Rara terdiam memikirkan tentang mimpinya. Ia benar-benar bingung dengan mimpinya sendiri.

"Ih, kok aneh sih mimpinya. Tapi, kenapa aku nangis ya kalau lagi senang?" Monolognya.

Rara meraih ponselnya. Ia mencari kontak Bagas bermaksud untuk menelponnya. Ini adalah kali pertama Rara tiba-tiba ingin berbicara melalui telpon dengan Bagas. Rara juga baru sadar jika ia belum membuka blokir kontak Bagas. Setelah membuka blokirnya, Rara menekan tombol panggil dan sepersekian detik ponsel pun coba menghubungkan panggilan dengan Bagas.

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang