SEBUAH PERTANDA

7 0 0
                                    

Usai pertemuan siang itu, malam harinya keadaan Bagas kembali memburuk. Jantungnnya kembali memunculkan kode bahwa detaknya tidak normal. Napasnya juga terdengar sangat berat, setiap satu kali hembusan terlihat membutuhkan banyak usaha untuk bisa dilakukan. Sore itu, cairan infus kembali terpasang di tangan Bagas. Tak hanya infus, seperangkat ekg yang terhubung langsung dengan monitor, dan oksigen yang terhubung dengan saluran pernapasannya langsung turut menghiasi tubuh laki-laki yang sejak tiga jam terakhir kian memburuk tanpa menampakkan secercah harapan menuju pertanda baik.

Kini laki-laki itu tengah memejamkan matanya. Mungkin sibuk bertualang di alam bawah sadar. Ini bukan tidur, melainkan pingsan. Sudah tiga jam lamanya ia memejamkan mata bersama dengan deru napasnya yang terdengar berat.

Sedari tadi, suster dan dokter sibuk berlalu-lalang, datang dan pergi untuk terus memantau kondisi Bagas. Setiap tiga puluh menit, suster yang bertugas akan datang ke kamar inapnya untuk mencatat segala informasi yang tertuang di layar monitor yang terhubung dengan ekg yang terpasang di tubuh Bagas. Hal itu berguna sebagai data untuk bisa membandingkan kondisi pasien membaik atau justru memburuk. Hasilnya kali ini adalah semakin memburuk. Jantungnya berdetak semakin cepat, tapi frekuensi napasnya semakin menurun. Bahkan beberapa miligram obat yang disuntikkan melalui selang infusnya seakan tidak bereaksi.

Isak tangis mamanya mengalun pelan. Wanita itu tersedu menatap putranya yang sedang berjuang untuk terus bisa bernapas. Siang tadi ia sudah melarang Bagas untuk bertemu Rara karena kondisinya masih baru pulih dari sesak, tapi Bagas tetap dengan keras kepala tidak menghiraukan mamanya. Kondisi Bagas memang sedang menurun hari ini, itu terbukti dari tubuhnya yang kembali drop setelah selesai bertemu Rara. Padahal mereka bertemu hanya duduk, dan mengobrol saja, bukan kegiatan berat yang dapat mengganggu kerja tubuh orang normal. 

Di dalam pingsannya, Bagas masih melihat semua yang terjadi padanya saat ini. Dokter dan suster yang sejak tadi hilir mudik memantau kondisinya, mama yang terisak dan terus menggenggam tangannya, bahkan kondisi tubuhnya dengan napas yang berat, ia melihat semuanya. Bagas tersenyum pedih melihat itu semua, batinnya bergejolak.

"Kenapa semua terlihat sayang gua ketika gua lagi kesakitan doang? Disaat gua baik baik aja, kenapa gak ada yang nunjukkan kalau mereka sayang gua dan mereka butuh gua hidup." Monolognya.

Di tengah tatapan sendunya menatap semua yang terjadi di depannya. Sebuah tepukan pelan di bahu mengejutkannya. Bagas menoleh, mencari tau siapa yang menepuk pundaknya barusan. Ia terkejut, benar benar terkejut, sebab di hadapannya berdiri sosok adik laki-laki kesayangannya. Iya, adik laki-laki yang sudah lebih dulu bertemu dengan tuhan, entah mengapa kini ia berdiri di depan Bagas. 

"Lo? lo ngapain disini?" Bagas sedikit terbata-bata karena efek kagetnya.

"Gua kangen lo." Adiknya memberi senyum tipis penuh arti yang disambut dengan tawa kecil Bagas.

"Gua juga kangen. Salah sendiri lo ninggalin gua."

"Gak lama lagi, lo bakal ketemu gua lagi. Lo bakal usilin gua lagi, dan lo bakal serumah sama gua lagi." Ucap adiknya dengan tatapan kosong mengarah pada tubuh Bagas yang tergeletak di tempat tidur.

"M-maksud lo apa anjir? Lo udah mati, gila." Bagas tak mengerti maksud dari kata kata adiknya.

"Nanti lo juga tau. Gua tau kok, lo sebenarnya capek. Cuma lo bela-belain bertahan karena lo gak mau Rania sendirian, dan lo juga lagi jatuh cinta sama cewek." 

"Hah? Dari mana lo tau gua lagi dekat sama cewek?" Bagas mengerutkan dahi, adiknya itu terlihat seperti banyak tau tentang hidupnya akhir akhir ini.

"Gua tau karena gua bisa lihat semua yang lo lakuin disini. Ngomong-ngomong, cewek lo cakep, tapi kasian nanti dia bakal lo tinggalin." 

"Lo juga tau muka cewek gua?" Bagas semakin tidak mengerti.

"Tau. Lo sekarang lagi drop karena kemarin lo gak dengar ucapan mama kan, lo bandel dan nekat buat ketemu dia padahal lo lagi sakit. Ternyata cewek itu yang bikin lo sekeras ini bertahan buat tetap napas." Adiknya tersenyum getir menatap Bagas.

"Maksud lo, gua bakal ninggalin dia itu gimana?" 

"Ya, harusnya lo udah paham sih. Gak lama lagi, lo bakal jauh sama dia. Gua saranin, lo kasih sesuatu yang berharga buat dia. Apapun yang lo tau tentang kesukaan dia, ada baiknya lo kasih."

Bagas mengangguk-anggukkan kepala berusaha memahami kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut adiknya sejak tadi. Ia seakan mengerti apa yang dimaksud, tapi tidak sepenuhnya yakin bahwa topik pembicaraan adiknya sejak tadi mengarah ke hal itu.

"Maksud lo, gua bakal mati dalam waktu dekat ini?" Bagas to the point menanyakan apa yang sedang ada dipikirannya.

Bukannya menjawab, adiknya itu malah mengedikkan bahu sembari berlalu meninggalkan Bagas. Bagas ingin berteriak memanggilnya, tapi suaranya seperti tiba-tiba tercekat. Kepalanya mendadak pusing, dan tatapannya menjadi buram. Ia terduduk dan memejamkan matanya kuat kuat sembari menunggu pusingnya segera mereda.

Kemudian, dalam hitungan menit pusingnya pun hilang. Ia mulai bisa mengerjapkan mata dan membuka mata dengan sempurna. Bagas seperti bingung menatap sekitar.

"Ma? Adik mana ma? Tadi ada adik." Bagas terlihat seperti panik.

"Adik siapa yang kamu maksud? Rania?" 

"Bukan, bukan Rania." Bagas menatap mamanya dengan tatapan kosong.

"Bagas! Gak usah ngomong aneh-aneh! Dari tadi cuma ada mama, suster, dan dokter. Gak ada orang lain, nak!" Mama mengeratkan genggamannya.

"Tapi tadi ada adik. Tadi aku ngobrol sama dia, tapi belum selesai ngobrolnya dia malah pergi." Terang Bagas berusaha meyakinkan mama dengan apa yang baru saja dilihatnya.

"Kamu itu pingsan dari tadi. Mana ada kamu ngobrol, nak. Lagian, adik itu udah di surga, kamu jangan ada aja deh." Mama membelai kepala Bagas berusaha menenangkan.

Bagas terdiam, ia baru saja bangun dari pingsannya itu berarti pertemuannya dengan adik berada di alam bawah sadar. Bagas masih mengingat jelas apa yang di ucapkan adiknya tadi, semua kalimat tanpa terlewat satu pun. Bagas jadi berpikir, bahwa itu adalah sebuah pertanda yang dikirim tuhan supaya ia bersiap diri untuk menanti waktu itu datang. Termasuk ia juga berpikir tentang hadiah spesial apa yang akan ia berikan kepada Rara sebagai hadiah perpisahan darinya.

Entah, mengetahui fakta bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi membuat Bagas seperti melihat lagi ke belakang. Ia seperti membuka lagi catatan tentang mimpi-mimpinya dulu, seperti menjadi seorang dokter, tinggal di Singapura, menjadi seorang papa, dan banyak mimpi lainnya. Ia juga menjadi teringat pada Rania yang sangat manja padanya. Bagas jadi berpikir bagaimana nanti jika ia sudah tidak bisa melindungi adik perempuannya lagi. Terakhir, Bagas juga berpikir bagaimana tangis Rara akan memenuhi hari hari tanpa keberadaannya untuk selamanya. Bukan kondisi dirinya yang ia pikirkan, tapi kondisi orang lain yang akan ditinggalkannya. Bagas memejamkan mata, ia berdoa kepada Sang Hyang Widhi supaya memberi kesempatan kepadanya untuk hidup sedikit lebih lama dari yang telah ditentukan. Ia mengutarakan alasan dari permintaannya itu, ia mengatakan bahwa ia masih ingin memberi kebahagiaan kepada orang orang yang ia sayangi dan ia masih ingin memberi kenangan terakhir sebagai hadiah ucapan berpisah. Dengan penuh kekhusuyukan, doa doa itu dipanjatkan dengan harap akan dikabulkan dengan sangat baik. 

Tak Akan HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang