Pamela memeluk puterinya yang menangis, mengusap punggungnya pelan.
Sore ini menjadi pertikaian perdana antara anak tengah dan anak bungsu Pramoedya, hal biasa bagi keluarga yang memang memiliki banyak saudara.
Pamela bahkan dulu setiap hari menghadapi anak - anak lelakinya yang bertengkar; entah berebut mainan, perbedaan pendapat kesukaan makanan, perbedaan - perbedaan pemikiran itu hal biasa dan wajar terjadi, jadi Pamela tidak akan memihak kepada siapapun.
Pamela menenangkan setiap anaknya dengan baik, seperti sekarang ia menggendong koala Jasmine dengan sayang, membawanya ke dalam mansion. Asih membawakan sepatu dan tas ransel milik Nona Mudanya sedangkan Hesti mengikuti tepat dibelakang Nyonyanya, menjaga barangkali Pamela memanggilnya.
"Loh adek kenapa, Mom?" Tanya Zayden yang kebetulan ada di ruang keluarga, bersiap untuk pergi berkumpul dengan teman - temannya di tempat tongkrongan.
"Enggak, adek kecapean. Ya sayang?"
Jasmine cemberut mengintip dari ceruk leher Pamela, melihat Zayden yang sudah rapih, ada headband diikat di kepalanya.
"Abang mau kemana?" Tanya Jasmine lembut, tertarik melihat kakaknya.
"Abang ganteng gak?" Tanya balik Zayden merapikan penampilannya.
Yang ditanya pun mengangguk, "Jasmine mau minta tolong," ucapnya pelan.
"Apa? Sini Abang yang gendong kasihan Mommy capek," balas Zayden sambil mengambil alih Jasmine, adiknya itu lumayan tinggi untuk anak seusianya walau tetap imut - imut. Tidak berat, tapi pipinya tembem dan tidak juga kurus. Pas.
Cup
Zayden paling sering mengecup pipi adiknya.
"Mau minta tolong apa?" Tanya Zayden gemas dengan mata biru milik adiknya yang berkaca - kaca.
"Beli kertas canvas kecil."
"Buku gambar ukuran sedang?"
Jasmine mengangguk, "tapi uangnya pinjem punya Abang dulu, nanti kalau Jasmine punya uang bayar."
Pamela tertawa kecil mendengarnya, kenapa puterinya sangat lucu?
15 tahun lamanya, Pamela kehilangan semua moment menggemaskan Jasmine. Tapi Pamela bersyukur, saat ini ia bisa merasakannya. Meskipun Jasmine sudah beranjak remaja.
"Uang Abang 'kan uang adek juga," jawab Zayden tidak ingin ada transaksi hutang antara dia dan Jasmine, jika masih bisa ia belikan akan ia beri. Tapi jika uang tabungannya tidak mencukupi, tinggal telepon Zaven saja. Ayahnya itu tidak pelit.
"Udah itu aja?" Tanya Zayden dan diangguki Jasmine, gadis kecil itu mempunyai rencana untuk melukis karikatur.
Di kamar Zaven dan Pamela, ada album foto yang pernah ia lihat bersama kedua orang tuanya itu. Jasmine akan mencoba melukis karikatur untuk keluarganya, terutama Vincent. Ia akan memberikan hadiah untuk berbaikan dengan Vincent.
Jasmine tadi menangis karena panik, tapi Jasmine bukan Jasmine kalau terus menerus menangis kekanakan. Otak cantiknya itu ia gunakan terus untuk menjawab soal - soal Fisika dan Matematika, jadi berjalan dengan lancar ke arah pikiran kritis dan positif bukan berlama - lama bersedih.
Daripada bersedih, Jasmine akan menggunakan kebisaannya. Menggambar. Mungkin saja Vincent akan senang, ia akan membujuk kakak ketiganya itu sebelum benar - benar mencoba terbuka padanya.
"Baiklah, sekarang abang beli sekalian mau ketemu temen. Abang janji sebelum adek tidur, abang udah pulang," jelas Zayden, ia tidak bisa membatalkan janji nongkrong dengan temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JASMINE [ END ]
Teen Fiction[ SEASON I ] Kamu tidak akan bisa mengenal seseorang, kecuali kamu sudah masuk ke dalam kehidupannya. Begitu kata Jasmine, setelah mengarungi lautan kehidupan yang sama sekali tidak sedikit badai yang dihadapkan kepadanya. Jasmine remaja berusia 15...