Mohon sebelum baca ada baiknya untuk memberi vote, like, komen, dan follow author nya agar lebih bersemangat lagi untuk menulisnya❤️❤️
Kritik, saran, apa pun itu, author terima kok dengan senang hati, karena keinginan readers, keinginan author juga❤️❤️Aluna yang tetap dikurung oleh bundanya hingga malam hari itu, hanya meringkuk sambil memeluk kakinya di kasur. Perutnya sejak tadi sudah terasa keroncongan, dan tenggorokannya terasa kering, karena sejak tadi pagi setelah perdebatan sepihak itu, ia belum ada sedikit pun menyentuh makanan atau minuman.
"Ugh! Perutku sakit sekali! Sepertinya magh aku kambuh lagi," Aluna memegang erat perutnya yang terasa sangat sakit itu, meringis pelan. Bagaimana perutnya tidak sakit, kalau sejak pagi tadi perutnya belum terisi makanan sedkit pun. Dan ditambah lagi sepertinya dia dehidrasi, karena sejak pertengkaran tadi itu, dia belum ada minum seteguk air pun. Dan dia juga banyak menangis, membuat tubuhnya semakin dehidrasi.
Tok! Tok!
Aluna yang tengah meringkuk menahan rasa sakit perutnya itu, seketika bangun dari tidurannya saat mendengar suara ketukan pintu dari luar.
"Kamu ingin apa lagi, Alana?! Tidak bisakah kamu tidak menggangguku sebentar saja, hah?!" teriak Aluna marah, merasa sangat benci dengan suara ketukan pintu itu. Orang yang baru saja mengetuk pintu itu diam beberapa detik, lantas menjawab. "Ini Ayah, Aluna." Kata orang yang berada di balik pintu kamarnya itu, pelan.
"A, Ayah? Ayah, ngapain ke sini?" tanya Aluna gelagapan, tak percaya kalau ayahnya yang dingin dan terlihat tak peduli terhadapnya itu, malah menghampirinya. Aluna segera beranjak dari tempat tidurnya, berjalan cepat menghampiri gagang pintu, dan membuka pintu kamarnya itu.
"A, Ayah. Maaf, Aluna udah berteriak pada Ayah." Ucap Aluna menunduk meminta maaf, berdiri berhadapan dengan pria dewasa tampan yang dipanggil 'Ayah' itu saat pintu kamarnya sudah terbuka lebar. Merasa bersalah. Ayah hanya diam saja, menatap putri sulungnya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mencoba untuk memeriksa tubuh gadis kecil itu, kalau saja istri dan putri keduanya berbuat sesuatu yang kelewatan batas terhadap Aluna.
"A, anu. Ayah?" Aluna menatap wajah Ayahnya yang hanya diam saja, tanpa bicara sepatah kata pun itu, dengan tatapan bingung. Ayah yang mendengar panggilan putri sulungnya itu, tersentak. "Ah! Apa kamu sudah makan, Aluna?" tanya ayah tiba-tiba. Aluna menggeleng pelan, "belum." Jawabnya singkat.
"Apa kamu ingin makan bersama Ayah, hm?" tawar sang ayah tersenyum lembut. Aluna yang baru kali ini diperlakukan lembut seperti ini oleh ayahnya sejak dirinya lupa ingatan itu, menatap lama mata hitam milik ayahnya yang bening.
"Kenapa? Apa kamu tidak ingin makan bersama Ayah, hm?" tanya ayah menyadari tatapan dalam dari putri sulungnya itu. Aluna menggeleng, "bukan begitu, Ayah. Hanya saja Aluna sedikit kaget, Ayah menawarkan untuk makan bersama lebihh dulu ke Aluna. Dan Aluna merasa sangat senang, Ayah!" Aluna tersenyum lebar, merasa senang karena setidaknya ayahnya tak membuangnya.
Ayah hanya menunduk menatap wajah putih bersih milik putri sulungnya itu lamat-lamat, merasa menyesal dan bersalah terhadap putri sulungnya yang menjadi tempat perbandingan itu. Lalu tanpa sadar, tangan ayah terjulur mengusap kepala anaknya yang berumur tujuh belas tahun itu. Tersenyum pedih.
"Apa kamu sudah ada makan atau minum sedari tadi, hm? Soalnya wajah kamu pucat, tak seperti biasanya." Ayah menyentuh lembut wajah Aluna, mencoba lebih teliti melihat keadaan anaknya itu. Aluna seketika terbungkam mendengar pertanyaan ayahnya itu, tak menjawab.
"Jujur, Aluna. Kamu sejak tadi sudah ada makan atau belum, hm?" tanya ayah sekali lagi, berharap putri sulungnya mau jujur kepadanya. Aluna masih diam beberapa detik, lantas menggeleng. "Belum ada, Ayah..." jawab Aluna lemah, takut kalau saja ayahnya akan marah terhadapnya.
Sang ayah yang mendengar itu, mengepalkan tangannya erat, menahan rasa sesak di dadanya. Ia dengan refleks menarik tubuh putri sulungnya yang kurus ringkih dan pucat itu ke dalam dekapannya, memeluk erat. "Maafin Ayah, Aluna..." sesal ayah meminta maaf, memeluk tubuh kurus ringkih anaknya dengan hangat. Aluna yang sudah sejak tadi menangis, dan baru sebentar saja berhenti menangis itu, kembali menitikkan air matanya lagi.
"Ti, tidak. Ayah tidak salah apa pun, kok. Yang salah Aluna, karena berharap untuk lebih dilihat oleh orang orang." Lirih Aluna pelan, merasa nyaman dengan pelukan hangat yang diberikan oleh ayahnya itu. Ayah menggertakkan giginya, menahan emosinya agar tidak meledak di hadapan putri sulungnya itu. Tak bisa berkata-kata.
"Apa tadi kamu juga ada menangis, hm?" tanya ayah lembut, mengusap belingan air mata milik Aluna dengan lembut. Aluna hanya tertunduk diam, tak menjawab. Ayah kembali menggertakkan giginya, lalu ia mengusap wajahnya, dan memalingkan wajahnya dari putri sulungnya itu. Mencoba mengatur emosinya.
"A, Ayah. Ayah jangan marah, ya? Ayah jangan marahin Bunda dan Alana karena Aluna, ya? Mau bagaimanapun, Alana dan Bunda adalah keluarga yang berharga bagi Aluna." Bujuk Aluna yang peka dengan raut wajah ayahnya yang tengah marah itu, menyentuh lembut kedua tangan ayahnya.
"Ayah benar benar minta maaf kepadamu, nak. Ayah sungguh minta maaf..." ucap ayah tulus menyesal.
"Ayah tidak bermaksud untuk tidak mempedulikan kamu, Aluna. Ayah melakukan ini, karena Ayah mengira kamu diperlakukan sama oleh bundamu, sama seperti bundamu memperlakukan Alana." Lanjut Ayah menyesali perbuatannya.
Jujur saja, ia tidak bermaksud untuk tidak mempedulikan Aluna, karena ia mengira saat ia pergi dinas ke luar negeri atau luar kota untuk waktu yang lama itu, putri sulungnya ini mendapat perlakuan yang adil oleh bundanya sendiri. Dan dia sebenarnya baru-baru ini tahu, kalau perlakuan istrinya terhadap putri sulungnya sangat tak adil, hanya karena putri keduanya lebih dikenal di tempat umum.
"Hiks, Aluna kira Ayah membenci Aluna seperti halnya Bunda dan Alana yang membenci Aluna." isak Aluna kecil, menumpahkan seluruh perasaannya di hadapan ayahnya itu. Ayah yang melihat putrinya yang menangis terisak itu, kembali memeluk tubuh kurus ringkih putrinya dengan erat. Ikut merasakan perasaan sakit hati yang dirasakan oleh Aluna itu.
Tak terasa lima belas menit lamanya Aluna menangis di dalam pelukan hangat ayahnya itu, akhirnya ia berhenti menangis juga.
"Bagaimana? Apa perasaanmu sudah mendingan, hm?" tanya ayah tersenyum hangat, melepaskan pelukannya dari tubuh putrinya itu. Aluna mengangguk, menghapus sisa buliran air matanya itu.
"Kalau begitu, ayo kita makan! Perut Ayah udah lapar, nih." Canda ayah, tersenyum sambil membantu menghapus bekas air mata putri sulungnya itu. Aluna menatap mata hitam bening ayahnya, lalu mengangguk. "Ayo, Ayah! Kebetulan Aluna juga sudah lapar. Malah perut Aluna sudah sejak tadi bunyi, hehehe..." balas Aluna ikutan bercanda, kembali tersenyum. Seketika melupakan kesedihannya itu.
"Eh, tapi, Ayah. Bunda bilang, kalau Aluna dilarang ke luar sebelum Bunda menyuruh Aluna ke luar." Ucap Aluna polos, teringat pesan dari bundanya tadi pagi. Ayah hanya bisa tersenyum untuk menyembunyikan kemarahannya terhadap istrinya itu, lalu membalas. "Tidak apa, Aluna. Kamu jangan khwatir, ada Ayah di samping kamu. Kamu tidak perlu takut, mengerti?" ayah mengelus kepala putri sulungnya dengan lembut, menenangkan.
"Baiklah, kalau begitu! Aluna tak akan takut dengan kemarahan Bunda atau Alana lagi, karena Ayah ada di samping Aluna!" ujar Aluna, tersenyum senang. Ayah hanya tersenyum, lalu menarik tangan Aluna untuk mengajaknya pergi bersama. Aluna tersenyum dalam hati, merasa sangat teramat senang dengan perlakuan ayahnya yang membuatnya merasa aman. Membiarkan tubuhnya mengikuti arah yang ayahnya bawa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Si Gadis Figuran
Random⚠️REVISI ULANG⚠️ ⚠️Sebelum baca tolong follow, vote, komen nya⚠️ Aluna si gadis figuran di dunia sosialnya sejak lama hanya karena harus mengalah untuk menjadi bayangan sang adik kembarnya yang lebih menonjol dan memikat itu, terpaksa menerima hinaa...