Penyesalan Dan Rasa Takut Bunda

79 6 0
                                    

Mohon sebelum baca ada baiknya untuk memberi vote, like, komen, dan follow author nya agar lebih bersemangat lagi untuk menulisnya❤️❤️
Kritik, saran, apa pun itu, author terima kok dengan senang hati, karena keinginan readers, keinginan author juga❤️❤️

Sudah dua tahun lamanya ayah meninggalkan istri dan kedua putrinya itu. Dan beberapa waktu belakangan ini, sang ayah jarang sekali mengirimkan pesan atau surat kepada mereka yang ditinggalkannya, walau hanya untuk bertukar kabar sekalipun. Dan itu membuat bunda menjadi overthingking sendiri, berpikir seperti yang dikatakan oleh para teman atau tetangganya yang selalu menghasutnya dengan mengatakan bahwa ternyata ayah selingkuh di sana, atau terjadi hal buruk pada sang suami. Yang malah semakin membuat pikirannya rusak.
Dan ditambah lagi dengan gunjingan para tetangga dan temannya yang selalu membandingkan kecantikan Aluna dan Alana itu. Juga sikap Aluna yang bertambah suram sejak Aluna yang hilang ingatan akan kebagiaannya dulu, yang membuat bunda semakin membenci keberadaan Aluna, yang ibu muda itu semakin bertambah beban pikirannya.

Dan selama setahun belakangan ini, bunda dan Alana yang polos, mulai ternodai akan ketamakan dan rasa tak suka yang tak jelas terhadap Aluna dari teman-teman ataupun dari tetangga yang selalu mencuci otak bunda dan Alana itu. Dan masalah itu membuat bunda lupa akan janjinya pada ayah dua tahun yang lalu, yang tidak akan membandingkan ataupun membenci Aluna tanpa alasan itu. Alana yang seketika menjadi tamak akan kasih sayang juga pujian itu, selalu membuli Aluna dan selalu mengatai Aluna sebagai bayangannya. Dan bunda yang selalu termakan gosipan dan bandingan terhadap kedua putrinya itu, mendukung Alana sang tokoh utama yang selalu jadi pusat pembicaraan dan pujian orang-orang, yang tak seperti Aluna yang suram dan hanya menjadi bayangan Alana itu.

"Aluna! Segera bersihkan rumah ini, sekarang juga!" teriak bunda membentak Aluna yang baru berumur sepuluh tahun itu, menatap galak ke arah Aluna. Seolah-olah Aluna adalah babu yang tengah dimarahi majikannya itu. Aluna dengan tubuh yang gemetar ketakutan, berkata terbata-bata. "Ta, tapi, Bun. Ba, badan Aluna lagi tak enak dan sakit, Bun." Lirih Aluna, memelas lemah.

"Tak ada alasan! Segera bersihkan rumah ini sampai bersih sekarang juuga! Jangan sampai saya melihat rumah ini kotor, walau setitik debu pun selama saya dan Alana pergi! Kalau kamu melakukan kesalahan walau sedikit saja, kamu akan saya pukul, paham?!" ancam bunda melotot, matanya menyalak merah, penuh kebencian terhadap putri sulungnya itu. Aluna hanya bisa mengangguk patah-patah, takut terhadap ancaman dari bundanya itu.

Aluna menangis dalam diam, merindukan sosok ayahnya yang begitu menyayanginya itu. Ia terus tenggelam dalam pikirannya tentang, apa kabar ayahnya? Apa ayahnya masih mengingatnya? Apa ayahnya merindukan ia, seperti halnya ia yang merindukan sang ayah? Apa ayahnya sehat dan makan dengan baik di negeri orang sana? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.

"Ugh, kepalaku terasa pusing..." lirih Aluna memegang kepalanya yang terasa berputar hebat itu, terhuyung  jatuh ke lantai. Terduduk.

"Apa aku istirahat saja sebentar, ya? Baru kulanjutkan membersihkan lantai dua," gumam Aluna bertanya pada dirinya sendiri.

"Baiklah, seperti itu saja. Aku akan beristirahat sebentar, mumpung Bunda dan Alana masih lama pulangnya." Putus Aluna, mengangguk. Lalu ia berjalan gontai menuju sofa keluarga, untuk beristirahat memulihkan tubuhnya sebentar.

Tapi Aluna tak tahu, bahwa Alana dan bundanya pulang lebih cepat dari perkiraannya. Dan drama baru pun dimulai.

"Dasar anak tak tahu diri! Berani beraninya kau tidur sebelum tugasmu selesai, hah?!" bunda menyeret tubuh kecil dan kurus Aluna dengan kasar, marah besar. Aluna yang ketakutan itu, menangis, memohon. "Ampun, Bun. Aluna minta maaf, luka di badan Aluna yang kemarin belum pada sembuh, Bun. Jadi, tolong jangan pukul Aluna lagi, Bun..." lirih Aluna memohon, meminta maaf terus-terusan untuk tak dipukul oleh bundanya itu. Sang bunda tak mendengarkan, ia lebih memilih untuk menutup telinga dan matanya dengan memukul dan menyiksa Aluna hingga pingsan.

Dan tanpa sang bunda ketahui, bahwa ini awal dari hilangnya seluruh ingatan bahagia yang ada di dalam memori Aluna. Yang hanya menyisakan ingatan menyakitkan di dalam memori Aluna, bahkan ingatan tentang masa bahagianya bersama ayahnya pun terlupakan, dan hanya menyisakan ingatan saat sang ayah yang saat itu masih dingin terhadapnya.

"Aluna!" panggil bunda dengan suara bergetar, memeluk tubuh lemah Aluna. Ketakutan hebat. Bunda yang seketika teringat akan janjinya dengan sang suami itu, langsung tancap gas menuju rumah sakit.

***

"Bagaimana dengan kondisi putri saya, Dok?" tanya bunda cemas bercampur ketakutan, menatap cemas ruangan milik Aluna. Dokter menghembuskan nafasnya pelan, "anak Ibu terkena demam tinggi, dan di tubuhnya ditemukan banyaknya luka memar, juga tubuhnya yang kurang gizi, membuat pemulihannya berjalan lebih lambat dari anak normal yang sakit lainnya." Jelas dokter menjawab lemah, merasa iba terhadap Aluna. Bunda terdiam, pikirannya semrawut, karena banyak sekali masalah yang terjadi kepadanya akhir-akhir ini.

"Kapan putri saya akan bangun, Dok?" tanya bunda lagi, menatap serius sang dokter wanita itu. Dokter itu menjawab, "mungkin sebentar lagi, Ibu. Dan kalau ada masalah dengan pasien, anda langsung panggil saya." Jawab dokter itu lagi, juga balas menatap serius bunda. Memperingati. Bunda mengangguk, "baiklah, Dok." Jawab bunda, mengiyakan. Sang dokter tersenyum, "kalau begitu saya permisi dulu." Pamit dokter wanita itu, mengangguk takzim. Bunda balas mengangguk, mempersilakan sang dokter untuk pergi.

Seperti yang dikatakan oleh dokter wanita itu, Aluna akhirnya siuman. Hanya saja, anehnya saat Aluna bangun dari pingsannya itu, ia ketakutan hebat saat melihat sang bunda yang berjalan menghampirinya, tanpa tahu penyebabnya apa.

"To, tolong menjauh dariku!" seru Aluna gemetar ketakutan saat melihat sang bunda yang sudah berada di hadapannya itu, ketakutan. Bunda hanya diam, menatap datar Aluna, mengepalkan tangannya.

"Aluna, kamu kenapa, hm? Ini Bunda, apa kamu tidak ingat Bunda, hm?" tanya bunda, mencoba untuk bersikap lembut kepada Aluna. Aluna yang ketakutan itu, kembali berteriak. "Pergi!! Penjahat, Bunda orang jahat!!" teriak Aluna ketakutan, menangis mengusir sang bunda. Bunda yang kesal dikatai penjahat oleh Aluna itu, menggertakkan giginya kesal.

"Kau--" perkataan bunda terhenti saat dokter dan beberapa perawat berlari menorobos masuk ke dalam ruangan Aluna saat mendengar teriakan kuat dari Aluna itu, cemas. Bunda hanya bisa diam, pergi menjauh dari ruangan putri sulungnya yang tengah ditenangkan dan diperiksa itu.

Flashback Off...

"Ugh, hiks..." bunda yang terus saja menangis karena mengingat kejadian sembilan tahun dan tujuh tahun yang lalu itu, merasa menyesal. Ingatan ketika ia berjanji kepada suaminya, menyiksa Aluna, dan ketika Aluna hilang ingatan masa bahagianya itu, terus saja menyebar memenuhi ruang memorinya itu. Bagaimana ia tidak menangis, kalau dia sudah membuat suami tercintanya kecewa terhadapnya.

Dan soal masalah setelah ingatan Aluna menghilang itu, bunda dan Alana sengaja membuat Aluna salah paham terhadap ayah, karena rasa cemburu dan iri mereka yang selalu melihat Aluna dikhawatirkan oleh sang ayah dan sang suami itu. Padahal mereka tahu bahwa Aluna lupa terhadap masa bahagianya, tapi mereka lebih memilih untuk tak peduli.

Jujur, sebenarnya bunda Sera ini kasihan, karena suami yang ia cintai lebih menyayangi putrinya daripada dirinya. Begitu juga dengan Alana yang iri karena kakak kembarnya lebih memendominasi kasih sayang sang ayah daripada dirinya. Dan karena rasa api cemburu itu, bunda dan Alana terus saja membuat pikiran Aluna menjadi kacau dengan membuatnya salah paham akan sang ayah. Dan mereka sengaja menyiksa Aluna, lalu mengompori Aluna bahwa ia hanya seorang figuran, dan mereka juga selalu membuang atau membakar surat yang dikirim oleh ayah untuk Aluna, agar Aluna dapat membenci ayahnya itu.

Selama lima tahun kesalah pahaman itu terus berlanjut, walau sebenarnya yang membuat hubungan Aluna dan sang ayah merenggang adalah karena ulah bunda dan adik kembarnya itu.

"Hiks, apa yang harus kulakukan?" tanya bunda pada dirinya sendiri, menangis pelan. Ia takut bahwa suaminya akan membencinya karena sudah mengingkari janjinya itu. Bunda terus tenggelam dalam tangis, takut, dan rasa bersalahnya yang bagai lautan dalam, hingga tertidur.

Takdir Si Gadis FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang