Bertemu Dengan Mama Agnes

7 0 0
                                    

"Maaf, kalian tidak dapat masuk ke area ini." Cegah salah seorang polisi yang sudah berumur dengan tegas. Aluna, Agnes, dan Arnold menggertakkan giginya. 

"Tolong lah, Pak. Teman saya ingin bertemu dengan pasien yang ada di sana, Pak!" Arnold protes, memaksa sang polisi untuk membiarkannya dan yang lain untuk masuk walau hanya sekejap saja.

"Tidak bisa, anak muda. Lebih baik anda kembali membawa teman anda ke bilik rawatnya segera," polisi tersebut tetap keuhkeuh dengan pendiriannya untuk mengusir mereka bertiga. Namun, sebelum Arnold kembali perotes, ibun lebih dulu datang menghampiri bersama wanita muda cantik dan elegan di sebelahnya.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanya ibun bingung, masih tak menyadari keberadaan tiga remaja itu. Polisi itu seketika menoleh menghadap ibun, lalu menjelaskan dengan menunjuk tiga remaja yang tetap ngotot untuk masuk itu.

"Ini, Nyonya. Tiga anak-anak ini mengotot untuk masuk ke area ini, katanya mereka ingin bertemu temannya yang berada di ruang ICU ini." Jelas sang polisi itu dengan wajah bersemu merah, menunjuk ketiga remaja yang tengah cemberut kesal itu. Ibun menoleh, menghadapkan pandangannya ke arah yang di tunjuk. Betapa kagetnya ia ketika melihat sosok Aluna yang berada tepat di hadapannya, tercengang.

"Eh, Aluna?" ibun menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, kaget plus tak menyangka kalau Aluna telah sadar dan menghampirinya. Aluna dengan mata yang berkaca-kaca, membalas. "Ibun..." Aluna seketika tanpa basa-basi dan peduli dengan infus yang ada di tangannya itu, menghambur ke dalam pelukan ibun dengan air mata yang kembali luruh tumpah ruah di pipinya. Menangis menyesal.

"Eh, nak? Kenapa kamu berada di sini, hm? Tubuhmu masih butuh istirahat yang banyak, cantik." Ibun dengan ekspresi kebingungan bertanya pada Aluna seraya mengelus lembut surai halus gadis itu, merasa panik dan cemas.

"Maafin Aluna, Ibun. Gara Aluna, Rafgan harus di rawat di ruangan ICU. Maaf, sungguh maaf, Ibun." Aluna bukannya menjawab pertanyaan dari ibun barusan, ia malah terus-terusan meminta maaf pada ibun dengan suara serak parau miliknya. Merasa teramat bersalah dan menyesal. Ibun yang mendengar permintaan maaf dari gadis yang disayanginya itu, tak dapat membendung buliran demi buliran bening yang kini tertumpah ruah. Luruh membasahi pipinya.

"Jangan salahkan dirimu sendiri, nak. Kamu tidak salah, ini sudah pilihan Agan." Ibun dengan air mata yang terus luruh dari pelupuk matanya itu, memeluk erat namun hati-hati tubuh ringkih Aluna yang bergetar hebat itu. Mencoba untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan agar Aluna merasa lebih tenang dan tak menangis lagi.

"Oh, jadi kamu yang bernama Aluna itu. Gadis yang dapat mengambil hati ponakan dan kakak kesayangan saya," Aluna dan ibun yang sibuk saling berpelukan dan menangis itu, seketika menoleh ke arah sumber suara. Aluna menyeka air matanya, lalu mundur melepaskan pelukannya dari ibun, dan mengangguk lemah. Menunduk takut.

"Mama!" Agnes yang peka dengan rasa takut Aluna itu, maju menghadang wanita muda yang hendak mendekati Aluna. Mencoba untuk melindungi Aluna.

"Kenapa kamu was-was gitu, Agnes? Mama kan gak ngapa-ngapain. Mama cuma mau ngobrol dengan gadis yang ada di sebelah kamu itu sebentar," wanita muda itu terkekeh, menatap Agnes dengan tatapan menyebalkan.

"Gak boleh! Kalo Mama mau ngobrol dengannya, Mama ngobrol aja di sini, jangan mendekat ke arahnya!" tukas Agnes tetap bersikukuh menghalau wanita yang dia sebut 'Mama' itu. Wanita muda yang tak lain mamanya Agnes itu hanya tersenyum picik, melambaikan tangannya. Mengalah.

"Baiklah, baiklah. Mama akan bicara di sini saja," mama Agnes menyerah, menatap penuh selidik pada Aluna. Aluna menelan ludahnya dengan susah payah, merasa takut. 

"Saya tak menyangka gadis yang terlihat ringkih ini bisa merebut hati kakak, ponakan, dan putri dingin saya satu-satunya seperti ini. Saya merasa takjub." Aluna dengan canggung tersenyum saja sebagai sopan santun. 

"Saya cukup terkejut saat saya mendapat telepon dari Agnes, kalau  Rafgan masuk rumah sakit setelah menyelamatkan gadis yang sangat disukainya." Aluna terhenyak, menunduk dalam.

"Maafkan saya, Tante."

"Tidak, saya bukan ingin mendengar permintaan maafmu, nak. Saya mengatakan ini, karena saya penasaran dengan sosok yang membuat ponakan keras kepala saya sampai seperti ini. Namun, setelah saya melihatnya, saya mengerti kenapa Rafgan begitu melindungimu. Dan ternyata gadis itu adalah gadis cantik, teduh, namun penuh luka. Dan saya ingin mendengar cerita lengkap versimu, kenapa kamu bisa sampai seperti ini." Mama Agnes mencoba untuk meluruskan kesalah pahaman antara mereka.

"Ah, sebelum itu, ayo kita duduk dulu. Dan untuk Pak Polisi, tolong minggir dulu. Mereka ini adalah anak-anak yang diizinkan untuk berada di area ini." Tegas mama Agnes meminta sang polisi untuk menyingkir dari jalannya, mengajak yang lain untuk duduk lebih dulu. Yang lain hanya mengangguk, berjalan menyesuaikan langkah Aluna yang pelan setelah jalan mereka dibukakan oleh sang polisi.

"Jadi, secara garis besar saya sudah mendengar ceritanya dari kakak saya, Kak Andinita. Namun, apa saya boleh mendengar cerita lengkapnya padamu, nak?" lanjut mama Agnes bertanya dengan hati-hati, takut kalau saja Aluna merasa tak nyaman dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Aluna diam, menelan ludah. Lalu ia mengedarkan pandangannya pada ibun, Agnes, dan Arnold, meminta pendapat. Ibun dan yang lain hanya tersenyum saja, menyerahkan seluruh keputusan yang akan diambil oleh Aluna pada dirinya langsung. Kerena mereka tak memiliki hak untuk melarang, juga mereka sama penasarannya dengan mama Agnes yang hanya tahu sepenggalan ceritanya saja.

"Baiklah, saya akan menceritakannya." Putus Aluna, mengangguk. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, mencoba menguatkan diri. Menutup matanya, menerawang ke masa ia diculik dan diancam pada waktu yang telah berlalu. Mulai bercerita.

***

"Ah, jadi begitu. Pasti kamu merasa sangat sulit, bukan?" Aluna hanya diam, menunduk dalam.

"His, ternyata para makhluk astral itu semakin ngelunjak!" Agnes menggeram kesal, merasakan aliran darahnya yang mendidih hingga ke ubun-ubunnya. Arnold dengan bersusah payah menenangkan pacarnya yang tersulut emosi itu, mencoba menetralisirkan amarah Agnes yang hendak meledak.

"Kenapa? Kenapa cantiknya Ibun tak bilang kalau kamu selalu kena perundungan di sekolah, dan ditambah lagi itu ada sangkut pautnya dengan adik kembarmu?" ibun dengan wajah yang penuh rasa kecewa dan cemas itu menatap Aluna, bertanya. Aluna hanya bisa semakin menunduk dalam, merasa bersalah.

"Maaf," hanya itu yang ke luar dari mulut kecilnya, merasa sangat teramat menyesal dan merasa bersalah. Ibun dan yang lainnya hanya menatap kasihan Aluna, hingga mama Agnes kembali mengangkat suara.

"Oh, ya. Katanya kamu ingin bertemu dengan Rafgan, bukan?" Aluna mengangguk, mendongak menatap mama Agnes dan yang lainnya. Senyuman yang terpancar di hadapannya itu, membuat rasa dejavu di dirinya.

"Kalau begitu, ayo ikut Tante." Mama Agnes menawarkan, tersenyum simpul pada Aluna. Aluna menatap lamat wajah mama Agnes yang terlihat sangat mirip dengan ibun itu, lalu mengangguk. Menerima uluran tangan mama Agnes yang ada di hadapannya itu.

"Aku mau ikut, Mama!" Agnes berseru, mencegah langkah Aluna dan mamanya. Mama Agnes menoleh ke arah sang putri, tersenyum. "Tenanglah, Mama gak bakal ngelakuin hal buruk pada pasien. Dan kamu tunggu saja di sini bersama pacarmu untuk menjaga Ibun," mama Agnes melambaikan tangannya, membawa Aluna pergi. Meninggalkan Agnes, ibun, dan Arnold di kursi tamu yang berada di area tempat polisi berjaga.

"Nah, kamu bisa melihat Rafgan dari sini. Walaupun tidak terlalu kelihatan, tapi ini cukup untuk melihat kondisinya." Mama Agnes menjelaskan, merangkul bahu Aluna untuk lebih dekat dengannya. Aluna terdiam, matanya terpaku ke arah brankar yang menunjukkan seseorang yang tengah terbaring dengan banyak alat di dekatnya. 

Rafgan...

Entah sejak kapan buliran bening di pelupuk matanya luruh, Aluna tak menyadari itu. Matanya yang terus fokus menatap ke arah brankar itu, membuatnya tak menyadari kondisinya yang tengah menangis.

"Nak?" mama Agnes menepuk pelan bahu Aluna, membuat tubuh gadis itu bergetar tersentak.

"Ah, maafkan saya, Tante. Saya tak sadar kalau saya melamun, maaf." Aluna dengan gelagat canggung meminta maaf, tanpa menyadari bahwa air matanya terus luruh.

Takdir Si Gadis FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang