Mengunjungi Ruangan ICU

4 0 0
                                    

"Kamu menangis, nak." 

"Eh?" Aluna sontak menyentuh pipinya yang sudah basah karena air matanya yang terus luruh itu, kaget. Mama Agnes tersenyum, menjulurkan tangannya. Membantu Aluna untuk mengusap buliran bening yang membanjiri pipi putih pucat gadis itu.

"Ah, te, terima kasih, Tante." Ucap Aluna gagap, merasa canggung dan malu yang bercampur menjadi satu. Mama Agnes hanya tersenyum lebar sebagai balasannya.

"Um, Tante." Panggil Aluna pelan, menatap canggung mama Agnes. Mama Agnes balas menatap lembut Aluna dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya itu, membalas. "Ya?" 

"Eum, jadi, begini, Tante." Aluna dengan ragu-ragu hendak berucap.

"Ya?" mama Agnes yang sepertinya peka dengan apa yang hendak diucapkan oleh Aluna itu, sengaja isengin dengan berpura-pura tak peka. Merasa lucu dengan wajah ragu-ragu milik gadis di hadapannya itu.

"Eum, begini, Tante. Apa Tante boleh meninggalkan saya sendiri di sini, Tante? Ada yang ingin saya sampaikan pada Rafgan," ucap Aluna kaku, ragu-ragu menatap mama Agnes. Mama Agnes hanya memperlihatkan senyumannya yang sejak tadi tak luntur, tak menjawab dengan pasti.

"Apa boleh?" tanya Aluna lagi, dengan wajah separuh berharap dan separuh takut itu. Mama Agnes yang sudah tak tahan melihat wajah Aluna yang menggemaskan--menurutnya itu, akhirnya tertawa. Puas mengisengin Aluna. Aluna yang bingung kenapa mama Agnes malah tertawa itu, hanya menelengkan kepalanya seolah anak kecil yang kebinngungan.

"Memangnya bagaimana cara kamu menyampaikan sesuatu pada Rafgan, hm? Kamu lihat kan, Rafgan di dalam sana, sedangkan kamu di luar sini." Mama Agnes menunjuk Rafgan yang berada di dalam ruang ICU sambil merangkul bahu kecil Aluna, bertanya penasaran dengan jawaban gadis cantik itu. Aluna terdiam, mengedarkan pandangannya ke arah dalam ruang ICU, menggigit bibir, menjawab. 

"Saya memang tak dapat masuk ke dalam, tapi saya ingin mengobrol dengan Rafgan, walau hanya lewat sini saja." Jawab Aluna tersenyum pahit, tetap menatap lurus ke arah brankar yang di mana Rafgan terbaring. Mama Agnes yang mendengar jawaban Aluna itu, menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. Merasa puas dengan jawaban Aluna.

"Baiklah, Tante akan pergi dan memberikan ruang untuk kamu mengobrol dengan Rafgan. Tapi Tante akan menunggu di kursi sana, karena kamu tak bisa hanya sendiri saja." Mama Agnes mengusap lembut kepala Aluna, mengangguk setuju dengan sedikit syarat di akhir katanya. Aluna mengangguk, tersenyum manis ke arah mama Agnes. Berterima kasih.

***

"Hai, ganteng." Aluna memulai percakapan saat seusai perginya mama Agnes, menyentuh pembatas tembus pandang itu, mendekatkan keningnya. Mencoba untuk berbicara dengan Rafgan lebih dalam lagi.

"Kamu bilang kamu menyukaiku, bukan? Jadi, tolong bertahan lah, Rafgan. Kumohon..." Aluna berkeluh lirih, menempelkan kening dan telapak tangannya di dinding kaca transparan itu. Menitikkan air matanya.

"Katanya kamu tak suka melihat aku menangis, tapi kenapa kamu sekarang terus membuatku menangis?" Aluna terisak kecil, mengepalkan tangannya, masih di posisi yang sama.

Mama Agnes yang tak jauh dari tempat Aluna berada, hanya menatap iba gadis malang itu. Awalnya dia merasa kesal karena ponakannya harus bernasib malang hingga berakhir di ruang ICU. Namun, saat ia melihat wajah sendu Aluna yang penuh luka, membuat hati keibuannya terangsang hingga semua rasa kesalnya tergantikan dengan rasa iba dan simpati seperti saat ini.

"Nak," mama Agnes menepuk pelan pundak Aluna, membuat si empunya pundak tersentak kaget.

"Eh, iya, Tante. Kenapa?" balas Aluna bertanya kelabakan, menghapus buliran bening di pelupuk matanya. Tersenyum canggung. Mama Agnes menatap lamat bola mata hitam bening Aluna, tetap bungkam. Dia seolah tengah menelusuri masuk ke dalam diri Aluna lewat bola mata hitam bening Aluna itu, berasa mencoba menyihir Aluna.

"Tante?" Aluna yang ditatap lama oleh mama Agnes itu, melambaikan tangannya ke wajah Mama Agnes. Mama Agnes yang seolah masih fokus menelusuri setiap jengkal perasaan yang ada di bola mata hitam bening milik Aluna itu, tak merespon panggilan Aluna.

"Bola matamu sangat indah, nak." Mama Agnes akhirnya membalas panggilan dari Aluna yang terus saja melambaikan tangan ke wajahnya ity, tersenyum sambil memegang pelan pergelangan tangan Aluna.

"Ah, terima kasih atas pujiannya, Tante." Aluna mengusap pelan tengkuknya, berterima kasih dengan wajah yang tersipu malu. Mama Agnes tersenyum, menepuk pelan kepala Aluna.

"Kalau kamu sesedih dan sangat merasa bersalah seperti itu, lebih baik kamu ungkapkan saja pada Tante. Tante tahu kalau kamu sangat ingin masuk, dan berinteraksi langsung dengan Rafgan, bukan?" Aluna seketika tertegun, terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut mama Agnes itu.

Bagaimana bisa Mama Agnes tahu kalau aku sangat ingin berinteraksi langsung dengan Rafgan hanya lewat menatap mataku? Batin Aluna kebingungan.

Namun, sebelum rasa bingungnya itu tersampaikan mama Agnes lebih dulu berucap. Seolah wanita muda tiga puluhan itu dapat membaca pikiran Aluna.

"Tante adalah psikolog, nak. Jadi, hanya melihat raut wajah dan gelagat yang ada di bola mata hitam indahmu itu, Tante dapat tahu apa yang tengah kamu pikirkan seperti sekarang." Jelas mama Agnes menepuk-nepuk pelan bahu Aluna. Sedangkan Aluna menelan ludah,tak dapat bersuara.

"Tante mengerti akan rasa ingin kamu untuk menemui Rafgan, tetapi kamu harus melihat dirimu sendiri. Kamu juga pasien di sini, dan ditambah lagi katanya kamu baru siuman. Dan kita tak bisa terlalu lama berada di sini, karena sebentar lagi akan datang perawat dan dokter untuk memeriksa Rafgan." Aluna diam, menunduk saja saat mendengar ocehan mama Agnes yang terlalu fakta untuknya.

"Tunggu kamu sedikit lebih pulih dulu, baru kita coba bincangkan ini dengan dokter atau perawat di sini tentang soal perizinan kamu untuk masuk." Seolah mama Agnes kembali membaca pikiran Aluna, Aluna mendongak menatap wajah cantik yang sangat mirip dengan Ibun itu dengan lekat.

"Ta, tapi, saya ingin masuk sekarang, Tante." Rengek Aluna, merasa tak terima kalau dirinya tak dapat masuk dan harus menunggu. Mama Agnes tersenyum, "bukankah kamu sudah janji untuk tidak masuk dan hanya mengobrol saja di sini? Dan itu sudah tertunaikan, bukan? Jadi buat apa kita lama lama di sini." Balas mama Agnes mengulurkan tangannya agar dapat digenggam oleh Aluna itu, tersenyum lembut. Aluna diam, masih ingin berlama di sana. Namun apalah daya, tubuhnya yang sedang sangat lemah itu tak dapat berkompromi dengannya, seolah tubuhnya sudah mencapai batasnya.

"Aluna! Kamu tak apa?" seru mama Agnes bertanya cemas, dengan sigap menyambar tubuh Aluna yang sempat terhuyung ke depan. Aluna yang merasakan pusing di kepalanya itu, hanya mengangguk saja. Berpura-pura tak apa.

"Ayo kita balik lagi, Aluna. Tubuhmu sudah mencapai batasnya, dan besok kita berkunjung lagi saat kamu sudah lebih fit. Sekarang kamu butuh banyak istirahat, nak." Mama Agnes memapah Aluna, menuntun gadis malang itu untuk pergi meninggalkan tempat ruang ICU berada.

"Astaga, nak! Kamu kenapa, cantik? Mukamu kenapa pucat sekali, hm?" tanya ibun kaget, menyambut tubuh Aluna yang pucat lemah.

"Sepertinya tubuh Aluna sudah mencapai batasnya, Kak." Mama Agnes menjawab, mewakili Aluna yang tengah dituntun untuk duduk bersandarkan dinding.

"Kalau begitu, bukankah lebih baik untuk kita membawanya kembali ke biliknya?" tanya ibun lagi, merasa sangat cemas. Dari raut wajahnya saja sudah kelihatan kalau ibun sangat mencemaskan Aluna.

"Benar, lebih baik seperti itu." Mama Agnes mengangguk setuju, meminta tolong pada Arnold dan Agnes untuk membantu menopang tubuh Aluna.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Takdir Si Gadis FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang