Hujan Sang Saksi Bisu Curhatan Dua Pemuda Ngenes

14 2 0
                                    

Mohon sebelum baca ada baiknya untuk memberi vote, like, komen, dan follow author nya agar lebih bersemangat lagi untuk menulisnya❤️❤️
Kritik, saran, apa pun itu, author terima kok dengan senang hati, karena keinginan readers, keinginan author juga❤️❤️

"Tapi, bukannya lo dengan Agnes lain cerita dengan masalah gua?" Rafgan menaikkan alis matanya, merasa tak nyambung dengan masalahnya. Arnold menghela nafas panjang, "gua belum selesai ceritanya, jadi jangan potong dulu cerita gua." Arnold mendelik sinis, protes tersinggung. Rafgan hanya nyengir tipis, lantas menyuruh Arnold kembali bercerita.

"Seperti kata lo, masalah gua dan lo itu memang beda. Makanya gua salut sama lo yang masih bisa bertahan sampai detik ini," ucap Arnold ringan, menumpukan tubuhnya ke belakang dengan bantuan kedua tangannya itu, menatap buliran bening yang turun dengan deras itu. Menghirup aroma rumput basah yang sangat ia sukai. Rafgan diam, tak dapat membalas ucapan Arnold yang secara tak langsung sudah memujinya dengan tulus itu.

"Kisah gua dan Agnes emang beda dengan keadaan lo sekarang, Raf. Gua dan Agnes kami pure single melarat, dianya jones, gua nya juga. Mungkin orang sadar kalo gua selalu ngintilin tu cewek tomboy karena gua suka dia, tapi di matanya gua cuma teman yang sefrekuensi dengan dia. Padahal gua berharap tuh cewek setidaknya peka dengan perasaan gua, atau setidaknya ngerti maksud gua yang selalu ngepepet dia sampai gak ada cewek yang mau dekat gua." Cerita Arnold terkekeh pelan, mengingat kisah konyolnya saat memutuskan untuk mengajak gadis yang sekarang sudah menjadi pacarnya itu untuk pacaran. Rafgan diam, menyimak cerita Arnold yang membuatnya tercerahkan dan tertarik.

"Gua awalnya pernah hampir nyerah dengan rasa gak peka nya tuh cewek. Dan gua pernah nyoba buat kasih kode yang paling keras, dan dia pun akhirnya sadar sama perasaan gua, mungkin? Saat itu gua belum berani buat confess ke dia, dan pas juga saat itu dia benar-benar ngasih jarak ke gua dengan bilang kalo dia belum mau pacaran dan dia lebih suka hanya sekadar berteman doang. Beuh, saat gua dengar dia ngomong gitu, pupus sudah harapan gua buat nyatain cinta ke dia. Tapi itu cuma sebentar, karena gua termotivasi saat gua lihat fyp yang bilang kalo usaha gak bakal khianati hasil. Nah, selang beberapa waktu lamanya gua bertekad bikin tuh cewek klepek-klepek dengan gua, dan alhasil kami semakin dekat. Dan saat-saat itu lah gua beranikan buat confess ke dia," lanjut Arnold panjang, kembali menghirup aroma tanah basah dan rumput basah yang disirami oleh air hujan itu. Rafgan masih diam, tetap menyimak.

"Lo tau, apa yang dikatakan Agnes pas gua beranikan diri buat confess ke dia?" Rafgan menggeleng, tak tahu. Arnold tertawa kecil, merasa geli mengingat masa lalunya yang terasa jamed baginya itu. Walau sekarang pun masih seperti itu.

"Saat gua confess ke tu cewek, si Agnes syok berat. Dia melongo natap gua tak percaya, lantas dia bilang kalo dia lagi gak kena prank atau semacamnya. Dan gua bilang, kalo gua serius dengan apa yang gua katakan ke dia. Saat itu juga, cewek yang gua kenal tomboy, pecicilan, tengil, gak peka, keras kepala, dingin itu, ternyata bisa nangis di depan mata gua. Dia nangis karena senang gua suka dia. Dan saat itu gua gak tau kalo dia sebenarnya suka gua juga, tapi dia lebih milih buat temenan dengan gua, karena dia takut kalo gua dan dia putus, kita bakalan jadi asing. Dan dia gak mau itu terjadi," Arnold menjelaskan, tersenyum menatap langit. Rafgan tetap diam, mencoba untuk mencerna cerita Arnold ke kepalanya. Sedangkan rintikan hujan terus mengguyur bumi dengan derasnya.

"Jadi gua ngerti banget dengan rasa sedih lo itu, Raf. Gua tau lo sedih, sakit hati, kesal, marah. Tapi lo juga harus ingat, kalo lo terus berusaha, gua jamin si Aluna bakal luluh sama lo. Ditambah lagi kalian udah saling kenal satu sama lain sejak kecil." Ucap Arnold menoleh ke Rafgan, tersenyum tulus pada temannya itu. Rafgan balas menatap Arnold, ikut tersenyum berterima kasih pada Arnold karena sudah memberi masukan.

Arnold walaupun dirinya terlihat narsis, aneh, jamed, gila, selalu merusuh, dan selalu mengganggu ketenangan hidup Rafgan, tapi dia adalah seorang teman yang baik, peka, dan pengertian yang sangat sulit didapat pada zaman sekarang ini.

Dua pemuda tampan yang tengah duduk berselonjoran menunggu hujan reda itu, terus saling bercerita dan mendengarkan. Langit yang semula masih terlihat cukup terang, kini tergantikan dengan gelapnya malam tanpa semburat cahaya bintang gemintang juga kabut gelap yang menutupi langit malam, seolah menyamakan rasa gundah di hati Rafgan.

***

"Ayo pulang," Arnold mengulurkan tangannya, hendak membantu Rafgan untuk bangun. Rafgan mengangguk, lantas ia menerima uluran tangan dari Arnold. Dan bangun dari duduknya.

Cukup lama mereka duduk menunggu hujan mulai reda, dan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana yang mulai terasa lengang, dan suara jangkrik juga kodok yang terus bersahutan memecah rasa lengang tempat mereka berada itu, membuat suasana lebih terasa hidup.

"Ah, pinggang gua pegal nih." Arnold memegang pinggangnya, lantas mendorongnya sedikit untuk peregangan. Rafgan mengangguk setuju, "sama. Kaki gua pegel nih karena kelamaan duduk," sahut Rafgan setuju.

"Tapi lo yakin mau nerobos hujan gini? Jujur, kalo gua mah gak apa besok libur, tapi kalo lo? Lo kan jarang bolos, njir." Rafgan melambaikan tangannya, "aman, tenang aja. Gua gak selemah itu sampai harus bolos sekolah karena kena flu doang," Arnold yang mendengar jawaban percaya diri kawannya itu, hanya bisa menghela nafas panjang. Mengangguk pasrah.

"Kalo gitu, ayo kita pulang." Ajak Rafgan, menaiki motor sport miliknya. Arnold mengangguk, ikut menaiki motor sport miliknya. Mereka pun tancap gas melaju memecah hening malam yang hanya menyisakan suara rintikan hujan dan beberapa hewan kecil yang saling bersahutan. Pulang ke rumah mereka masing-masing.

"Astaga, nak!" kaget ibun saat ia membukakan pintu untuk anaknya itu, melihat kacaunya sang putra. Rafgan hanya cengengesan, meminta tolong kepada ibun untuk membawakan handuk dan lap kaki karena tubuhnya sudah basah kuyup.

"Baiklah, tunggu sebentar di situ. Ibun akan bawakan kamu handuk dan lap kaki," pesan ibun menyuruh putranya itu untuk tidak ke mana-mana. Rafgan mengangguk, melambaikan tangannya pada sang ibunda.

Rafgan yang merasa suntuk karena tak dapat melakukan apa pun, menatap langit yang measih menurunkan buliran-buliran bening yang cukup deras. Menerawang ke arah cerita Arnold tadi. Rafgan terus menghayati setiap aroma hujan, dan rasa dari hembusan angin dingin yang menerpa lembut wajah juga kulit tubuhnya itu. Menikmati setiap jengkalnya.

"Gan..." Rafgan yang tak mendengar dan menyadari panggilan dari ibun itu, tetap terus termenung menikmati hujan. Ibun hanya menggelengkan kepalanya, lantas menepuk pelan bahu sang putra. Menyadarkannya.

"Eh, Ibun?" Rafgan tersentak kaget, dengan cepat menoleh ke arah sang ibunda. Ibun menatap dalam mata indah putranya itu, "Agan kenapa, hm? Agan ada masalah? Coba cerita sini ke Ibun, biar Ibun dengar masalah Agan." Ibun menyentuh lembut tangan sang putra, betanya khawatir. Karena dia tahu, kalau saja sang putra sampai seperti ini, tandanya ia tengah ada masalah.

"Eh, enggak kok, Ibun. Agan gak papa kok," elak Rafgan bohong. Ibun hanya tersenyum lembut, mengelus pipi putranya itu, mengangguk saja. Tak ingin bertanya lagi. Karena ia tahu, kalau Rafgan sudah bohong padanya, tandanya Rafgan tak ingin mengungkit masalahnya padanya.

"Kalau begitu, kamu masuk gih. Mandi," suruh ibun mengelus lembut kepala putranya yang basah itu, lantas menyerahkan handuk kepada putranya itu. Rafgan mengangguk tersenyum, menerima handuk dari ibun. Berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamarnya yang berada tak jauh dari ruang tamu itu.

Takdir Si Gadis FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang