Hari Yang Cukup Damai

17 3 0
                                    

Mohon sebelum baca ada baiknya untuk memberi vote, like, komen, dan follow author nya agar lebih bersemangat lagi untuk menulisnya❤️❤️
Kritik, saran, apa pun itu, author terima kok dengan senang hati, karena keinginan readers, keinginan author juga❤️❤️

"Aluna, bagaimana sekolah kamu tadi? Apa lancar?" tanya ayah saat mereka sedang kumpul di ruang makan, untuk makan malam. Aluna mengangguk, tersenyum. "Ya, Ayah! Sekolah Aluna lancar aja tadi, Ayah!" jawab Aluna tersenyum lebar.

"Tapi tadi, Ayah baca pesan kamu, katanya kamu pulang dengan Rafgan? Apa benar, hm?" tanya ayah lagi, masih penasaran dengan aktivitas anak sulung kesayangannya yang sudah lama dia abaikan itu. Aluna mengusap tengkuknya, nyengir. "Iya, Ayah. Tadi Aluna pulang dengan Rafgan, karena dia mendadak perlu bantuan Aluna." Jawab Aluna lagi, semakin nyengir.

"Baguslah kalau begitu, nak. Kamu harus terus menjadi orang baik dan bermanfaat untuk banyak orang hingga kamu tua ya, nak." Puji ayah, lantas berpesan kepada Aluna. Aluna mengangguk semangat, lantas tersenyum lebar kepada ayahnya itu. Alana yang melihat keharmonisan kembarannya dan ayahnya itu, menggertakkan giginya, menahan kesal. Merasa iri.

"Lalu kamu, Alana. Bagaimana kabarmu di sekolah tadi, hm? Apa baik-baik saja, hm? Kamu tidak berulah lagi, kan?" tanya ayah tersenyum ke arah putri bungsunya itu, penasaran. Alana menunduk, "A, Alana baik-baik saja kok, Ayah. Alana gak berbuat ulah kok, Yah." Jawab Alana gagap, merasa takut bahwa ayahnya tahu apa yang telah dia lakukan di sekolah.

"Syukurlah kalau begitu," ayah tersenyum, menatap Alana dengan tatapan yang sulit untuk dipahami. Lantas ayah menyuruh Aluna dan Alana kembali memakan makanan mereka, kembali makan malam.

***

"Aluna." Panggil Alana mengejar langkah kaki Aluna yang berjalan memasuki gerbang sekolah mereka, lantas berjalan mendekati Aluna. Aluna yang dipanggil oleh kembarannya itu, menoleh. "Ya?" Aluna mengernyitkan alisnya, membalas panggilan Alana dengan wajah bingung.

Alana hanya diam, menelan ludah. Menatap Aluna dengan tatapan yang tak dapat ditafsirkan.
"Lo--" Alana menunjuk Aluna, lantas ia kembali diam. Aluna yang semakin bingung melihat adik kembarnya itu, kembali berbalik arah, berjalan meninggalkan Alana di gerbang sekolah yang tengah bersikap aneh itu.

"Hai!" sapa Aluna antusias, mendekati dua sahabatnya yang tengah berbincang itu. Dua temannya yang tengah berbincang itu, seketika kaget saat menyadari keberadaan Aluna. Lantas mereka berdua terdiam, tak melanjutkan kembali perbincangan mereka itu.

"Kalian habis bicarakan apa? Kenapa tidak melanjutkan kembali pembahasan kalian, hm?" tanya Aluna penasaran, duduk di kursi dekat antara tempat duduk dua temannya itu. Bertopang dagu. Lira dan Leni hanya bersitatap, tak menjawab pertanyaan dari Aluna itu.

Saat Aluna kembali hendak bicara, seorang wanita paruh baya memasuki ruang kelas itu, berjalan anggun menyapa para siswi di dalam ruang kelas itu.

"Selamat pagi, anak-anak." Sapa wanita paruh baya itu, tersenyum anggun. Para siswi yang sudah rapi di tempat duduknya masing-masing--termasuk Aluna itu, balas menyapa. "Selamat pagi juga, Bu Cintya!" seru siswi di dalam kelas itu, membalas menyapa.

Wanita paruh baya yang tak lain seorang guru yang bernama Cintya itu, tersenyum cerah. Memerintahkan muridnya untuk membuka buku pelajaran mereka masing-masing, memulai pelajaran.

"Aluna, tolong kamu jawab soal nomor sepuluh itu." Pinta bu Cintya, menunjuk Aluna untuk menjawab soal Ekonomi nomor sepuluh itu. Aluna yang mendengar permintaan gurunya itu, mengangguk. Lantas ia dengan lugas menjawab soal yang diminta oleh gurunya itu, menjawab dengan sempurna.

"Kamu sungguh pintar, Aluna! Ibu sungguh kagum dengan kecepatan dan ketepatan kamu dalam menganalisis soal dan mengurai soalnya." Puji bu Cintya salut, terkagum-kagum dengan kepintaran Aluna yang menurun dari ayahnya itu.

"Terima kasih, Bu. Atas pujiannya yang sangat menyentuh ini," ucap Aluna membalas pujian dari gurunya itu, tersenyum sopan. Merendah. Bu Cintya hanya tertawa saja, lantas melambaikan tangannya. Kembali melanjutkan pelajarannya.

Seusai pelajaran pertama yang dimasuki bu Cintya itu, seorang guru lelaki paruh baya yang wajahnya terlihat sudah mulai keriput itu, masuk dengan tampang sangarnya. Seluruh siswi yang berada di dalam kelas itu diam, menahan nafas. Merasa tertekan dengan aura sang guru, takut.

"Selamat pagi, anak-anak." Sapa guru lelaki itu dengan intonasi suara yang berat, menatap tajam seluruh isi kelas. Seluruh siswi yang berada di dalam kelas itu, hanya bisa membalas sapaan sang guru dengan suara yang bergetar ketakutan.

"Untuk saat ini, saya akan menggantikan Miss Citra sebagai guru bahasa Inggris kalian. Karena seperti yang kalian tahu, Miss Citra tengah cuti melahirkan, dan saya harap kalian mau bekerja sama dengan saya untuk ke depannya. Dan mohon bantuannya, anak-anak." Ucap guru lelaki itu, menjelaskan kepada para siswinya yang tengah ketakutan melihatnya itu. Para siswi yang berada di dalam kelas itu hanya diam, tak dapat menanggapi ucapan sang guru.

"Saya sudah tahu kalian bakal seperti ini, jadi saya memiliki sesuatu untuk kalian agar kalian bisa lebih santai dengan saya." Sang guru lelaki itu menghela nafas, lantas melambaikan tangannya. Sudah memprediksi bahwa para siswinya itu akan bersikap seperti ini, lantas ia mengeluarkan sesuatu di dalam tas ransel yang ia bawa.

"Untuk ketua kelas di sini, tolong maju. Dan tolong bagikan cokelat ini kepada teman-temanmu," ucap guru lelaki itu, meminta ketua kelas untuk maju. Gadis berkaca mata bulat dengan rambut dikuncir kuda ala anak ambis itu mengangguk, maju ke depan.

"Terima kasih, Pak Dodi." Kata ketua kelas, menerima bungkusan berisikan cokelat, lantas ia kembali ke tempat duduknya. Dan membagi-bagikan cokelat yang baru saja diberikan oleh pak Dodi.

"Kalau begitu, mari kita lanjut pembelajarannya." Ucap pak Dodi membuka buku pelajaran. Para siswi yang berada di dalam kelas itu mengangguk, lantas juga ikut membuka buku pelajaran mereka.

***

"Permisi, apa ada Aluna di sini?" Aluna yang tengah mencatat catatan yang ditulis di papan tulis itu, seketika menoleh ke arah pintu kelas. Iya mendapati pacarnya yang bernama Zicon itu, tengah berdiri sambil celingukan mencari keberadaannya. Para siswi temannya Aluna hanya heboh sendiri, karena melihat anak OSIS yang terkenal itu ada di kelas mereka.

Aluna hanya diam saja melihat kehebohan teman-temannya itu, lantas bangun dari duduknya. Dan berjalan menghampiri Zicon, sang pacar.

"Ada apa, Zicon? Kenapa kamu kemari?" tanya Aluna penasaran, menatap bingung pacarnya itu. Zicon hanya diam, menatapnya dalam. Lantas setelah itu ia menyuruh Aluna untuk ikut dengannya, menarik tangan Aluna. Aluna yang masih bingung dan tak tahu apa yang terjadi itu, hanya bisa diam. Mengikuti langkah panjang dan cepat Zicon.

Takdir Si Gadis FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang