Berdamai

99 10 4
                                    

Mohon sebelum baca ada baiknya untuk memberi vote, like, komen, dan follow author nya agar lebih bersemangat lagi untuk menulisnya❤️❤️
Kritik, saran, apa pun itu, author terima kok dengan senang hati, karena keinginan readers, keinginan author juga❤️❤️

Tak terasa waktu terus berjalan, dan dua sepasang manusia ayah dan anak yang tadinya menangis, sekarang tengah duduk di tempat duduknya masing-masing dengan tenang dan dengan wajah sembab dan mata bengkak. Aluna dan Ayah yang tadinya menangis, baru berhenti saat pelayan yang mengantar pesanan mereka datang menghampiri.

"Woahh!! Steak!!" sorak Aluna antusias sekaligus tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu, terkagum-kagum. Ayah hanya tersenyum kecil, lantas mencubit pelan pipi putih milik putrinya itu, gemas.

Padahal baru tadi Aluna menangis keras sambil memuku dirinyal, bertanya banyak hal, dan menyalahkannya, karena sudah membuat putrinya yang baik hati ini harus menerima banyak luka darinya. Mencoba untuk mengeluarkan seluruh emosi yang dipendam oleh putrinya itu. Dan kini putrinya sudah kembali ceria seperti semula, senyuman yang selalu ia lihat ketika Aluna masih kecil dulu. Dan itulah senyuman yang sangat ia rindukan selama hampir sepuluh tahun itu.

"Ayah! Apa tak apa, kalau Aluna makan sebanyak ini?" tanya Aluna setelah seluruh pesanan tersedia, dan pelayan pergi, merasa ragu, bingung dengan makanan yang memenuhi meja mereka. Ayah mengangguk, "ya. Semua makanan itu memang sengaja Ayah pesankan untuk kamu, Aluna." Jawab ayah, tersenyum lembut. Aluna mengangguk-angguk mengerti, lantas ia segera mengangkat pisau dan garpu yang berada di dekatnya, untuk memotong steak.

"Apa kamu ingin Ayah bantu untuk memotong dagingnya, hm?" tanya ayah menawarkan bantuan, menatap kasihan putrinya yang tengah kesusahan memotong daging steak miliknya itu. Aluna yang tengah berusaha keras untuk memotong daging steak itu, mendongak menatap ayahnya, menggeleng. "Tidak perlu, Ayah. Aluna bisa memotongnya sendiri, kok." Tolak Aluna halus, tetap berusaha untuk memotong daging steak miliknya itu.

Satu menit berlalu. Dan daging steak milik Aluna masih tetap utuh, seolah belum tergores pisau sedikit pun. Ayah hanya tersenyum tipis melihat putrinya gemas bercampur greget, karena Aluna yang tetap ngotot hendak memotong sendiri daging steak miliknya itu.

"Berikan piring steak milikmu, sini! Dan, ambil steak milik Ayah yang udah terpotong ini." Ayah mengambil piring steak milik Aluna, lantas menyodorkan piring steak miliknya ke Aluna. Aluna kebingungan kenapa ayahnya malah mengambil piring miliknya dan malah piring yang seharusnya punya ayahnya malah untuknya.

"Ini, kenapa Ayah mengambil piring Aluna? Dan menyerahkan piring Ayah ke Aluna?" tanya Aluna bingung, menatap piringnya dan piring ayahnya itu secara bergantian. Ayah hanya tersenyum hangat, lantas melambaikan tangannya. "Makan saja, Aluna." Suruh ayahnya, tersenyum. Aluna yang masih kebingungan itu, hanya mengangguk kecil. Patuh saja dengan apa yang disuruh oleh ayahnya itu.

Selang lima tiga puluh menit lamanya ayah dan anak itu menyantap makanannya, akhirnya selesai juga. Seluruh makanan dan minuman yang ada di atas meja itu, tandas tak bersisa.

"Bagaimana? Apa makanan dan minumannya cocok dengan seleramu, hm?" tanya ayah menatap Aluna yang tengah kekenyangan itu, tersenyum. Aluna yang tengah menyandar di sofa ruangan sambil memegang perutnya yang kekenyangan itu, menatap ayahnya. "Ya! Makanannya sangat enak, dan cocok di lidah Aluna, Ayah." Jawab Aluna mengangguk, tersenyum lebar. Sang ayah hanya tersenyum puas, karena putrinya senang dengan makan malam yang dia siapkan untuk putri kesayangannya itu.

"Tapi, Ayah. Bagaimana dengan Bunda dan Alana, Ayah? Apa Ayah tidak membelikan mereka makanan juga?" tanya Aluna teringat dengan dua orang yang ditinggal pergi oleh mereka itu. Ayah hanya diam beberapa detik, lantas balik bertanya. "Memangnya kamu ingin membelikan mereka makanan, hm?" tanya Ayah menatap putrinya yang baik itu, penasaran. Aluna hanya menganggukkan kepalanya, sebagai jawaban.

"Baiklah, kalau begitu, sebelum pulang kita akan pesan makanan untuk Bunda dan Alana lebih dulu." Ayah menghela nafas pelan, lantas menepuk pelan kepala putrinya itu. Aluna yang masih merasa canggung diperlakukan seperti itu oleh ayahnya itu, memegang kepalanya. Salah tingkah.

Setelah ayah Aluna memesan makanan dan minuman untuk Alana dan bundanya, Aluna dan ayahnya mengobrol ringan seputar kisah di sekolahnya, atau tentang bagaimana kisah ayahnya saat pergi dinas. Kadang Aluna dan ayahnya sesekali tertawa, sesekali bercanda ringan, sesekali curhat, sesekali saling minta maaf. Hingga pesanan yang tadi ayah pesan untuk dibungkus itu, siap.

"Kalau begitu, ayo kita pulang, Aluna." Ajak ayah menggandeng hangat tangan putrinya itu. Aluna mengangguk, sambil mencoba untuk menyamai langkah kaki ayahnya yang panjang itu. Aluna dan ayah berjalan beriringan menuju mobil yang terpakir, lantas memasukinya.

"Ayah," panggil Aluna pelan, menoleh ke arah ayahnya yang tengah menyetir mobil itu. Ayah menoleh, "Ya?" balas ayah kembali fokus menyetir, menanggapi.

"Apa nanti Bunda dan Alana akan marah kepada Aluna, karena sudah merebut Ayah dari mereka?" tanya Aluna tiba-tiba, termenung menatap kosong ke depan. Seketika kepalanya menerawang jauh ke depan. Ayah yang melihat tangan putrinya yang gemetaran itu, menyentuh lembut punggung tangan putrinya, menenangkan.

"Mereka tidak akan marah, Aluna. Karena Ayah yang akan bicara dengan Bunda dan Alana. Kamu tenang saja, Aluna." Jawab ayah, tersenyum menenangkan. Aluna diam, menatap lama wajah sang ayah, lantas mengangguk. Percaya saja dengan perkataan ayahnya itu, mencoba untuk tenang.

Mobil terus melaju di jalanan Jakarta yang sudah mulai lengang, karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Beberapa mobil terlihat lalu lalang, hendak pulang ke rumah mereka masing-masing. Karena besok adalah jam masuk sekolah dan kerjanya orang-orang, yaitu hari Senin.

"Hoamm..." Aluna menguap lebar, mengucek matanya. Mengantuk. Ayah yang melihat putrinya yang sudah mengantuk itu, angkat suara. "Kamu kalau sudah mengantuk, tidur saja, Aluna. Besok kamu juga harus pergi sekolah, dan ini juga sudah lewat waktu tidur kamu." Ucap ayah lembut, mengelus lembut kepala putri sulungnya itu. Aluna yang sudah mengantuk berat itu, mengangguk pelan. "Baiklah, Ayah. Tapi tak apa kah, kalau Aluna tidur saat Ayah tengah menyetir?" jawab Aluna, lantas bertanya balik. Memastikan. Ayah mengangguk, "tak apa, nak. Tidurlah," ayah mengusap lembut rambut halus putrinya itu, tersenyum.

"Um, kalau begitu, selamat malam, Ayah..." ucap Aluna pelan, lantas jatuh tertidur dengan sekejap. Ayah hanya tersenyum saat melihat putrinya itu sudah tertidur, lalu ia menepikan mobil dari jalanan besar. Hendak memperbaiki posisi tidur putrinya itu.

"Selamat malam juga, putri sulungku..." balas ayah berbisik lembut, saat ia telah selesai memperbaiki posisi tidur putrinya itu, dan menyelimutinya dengan jas yang ia pakai. Lalu ia mengecup lembut kening putrinya itu, dan kembali menjalankan mobil.

***

"Sayang!" panggil bunda, berlari menghampiri ayah dan Aluna yang terlelap di gendongan sang ayah itu.

"Ssst... Jangan berisik, Sera." desis ayah, menyuruh istrinya untuk tidak berisik. Bunda seketika terdiam, lantas melirik ke arah Aluna yang tengah tertidur lelap di gendongan suaminya itu. Menggertakkan giginya, kesal.

"Kamu dari mana saja dengan Aluna, heh? Kenapa baru pulang di jam segini, heh?" tanya bunda beruntun, dengan intonasi suara yang mengomel namun sedikit rendah suaranya. Bukannya dijawab, ayah hanya menyuruh bunda untuk tidak berisik, dan menyuruh bunda mengajak Alana untuk makan makanan yang telah ia beli bersama Aluna tadi. Berjalan tak peduli melewati istrinya itu, sambil menggendong Aluna yang tengah tertidur lelap menuju ke kamar putri sulungnya itu.

"Sayang!" Panggil bunda hendak menahan suaminya itu untuk tidak pergi darinya. Ayah tak mempedulikan panggilan dari istrinya itu, tetap terus berjalan menaiki tangga menuju kamar Aluna yang terletak di lantai dua itu. Meninggalkan bunda yang masih berdiri di ruang tamu itu.

Takdir Si Gadis FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang