Rafgan Sekarat?

7 0 0
                                    

"Lo tau, setelah lo jatuh pingsan, semua orang panik di gudang buruk itu. Ibun bahkan sampai jatuh sakit hari itu juga, merasa tak bertenaga saat melihat anak-anak yang sangat beliau sayangi sampai harus bernasib mengenaskan kayak gitu." Agnes menggenggam erat telapak tangan Aluna, menunduk. Menceritakann sedikit tentang apa yang terjadi setelah Aluna pingsan pada gadis teduh itu.

"Terus? Bagaimana? Apa sekarang Ibun sudah tidak apa?" Aluna  bertanya khawatir. Dari tatapannya, jelas sekali menyiratkan rasa bersalah, cemas, dan takut yang berlebihan. Agnes mendongak menatap mata hitam bening Aluna, "iya. Syukurnya Ibun sudah mulai membaik sejak semalam, setelah ditenangi oleh Papa." Jawab Agnes mengangguk, membuat Aluna bernafas lega.

"Setelah itu apa yang terjadi?" tanya Aluna lagi, penasaran. Agnes diam sejenak, melirik sedikit ke arah ayah dan pacarnya. Meminta solusi untuk dijawab atau tidak.

"Ehem, setelah lo pingsan, kita buru-buru bawa lo ke rumah sakit. Begitu juga dengan Rafgan yang harus segera diberi pertolongan. Walaupun perasaan Tante Andinita hancur, beliau tetap menguatkan diri untuk tidak tumbang lagi.  Bahkan beliau terus menggenggam tangan Rafgan dan lo dengan erat, sampai lo masuk UGD. Sedangkan Rafgan segera dibawa ke ruang operasi, lalu dipindahkan ke ruang ICU setelahnya." Bukan Agnes yang menjelaskan, tetapi Arnold. Dia dengan lugas menceritakan cerita selanjutnya pada Aluna. Aluna terbengong syok mendengar cerita Arnold. Ternyata ibun tetap mencemaskannya walaupun wanita lembut keibuan itu tahu kalau putranya juga sekarat karena dia. Dan apa tadi yang dikatakan Arnold pada gadis itu? Rafgan masuk ICU?

"Oh ya, kata kamu Rafgan dilarikan ke ruang ICU? Kenapa? Kenapa harus sampai masuk ruang ICU? Bukankah dia cukup masuk ruang operasi saja? Tapi kenapa? Kenapa sampai harus dilarikan ke ruang ICU? Apa luka tusukannya separah itu, sampai harus masuk ICU?" Aluna kembali bertanya dengan suara bergetar, menatap Arnold dengan tatapan yang penuh akan rasa takut, cemas, bersalah yang menyatu di bola mata hitam beningnya itu. Arnold terdiam, menelan ludah. Saling tatap dengan Agnes dan ayah, meminta untuk gantian menjelaskan.

Hening, semuanya hening begitu saja. Aluna yang tak dapat jawabannya itu, mencengkram erat selimutnya, menuduk mengatur ledakan amarahnya yang membuat darahnya berdesir hebat itu.

"APA YANG SEBENARNYA TERJADI?! KENAPA SEMUANYA DIAM SAJA?!" teriak Aluna menggertakkan giginya, marah besar. Menatap ayah, Agnas, dan Arnold dengan tatapan yang menyalak. Ayah,Agnes, dan Arnold tetap diam. Tak dapat angkat suara.

"Ehem, nak. Tolong tenang lah dulu, Ayah akan menjelaskannya. Tapi redakan dulu amarahmu itu, nak." Ayah angkat suara, mencoba menenangkan putrinya yang tengah terkena serangan panik itu. Aluna menggigit bibirnya, meneteskan kembali buliran demi buliran bening di pelupuk matanya yang sudah merah. Menahan sesak di dada.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah? Kenapa Rafgan sampai harus masuk ke ruang ICU, Ayah? Bukankah ruang ICU hanya untuk orang yang sudah memerlukan perawatan intensif seperti sekarat?" Aluna dengan raut wajah yang penuh rasa takut dan buliran bening yang terus membanjiri pipinya itu, menatap ayah. Ayah menelan ludah, tak tega melihat putrinya yang rapuh itu kini terlihat hancur.

"Kamu tahu kan, nak? Teman kamu yang bernama Rafgan itu telah banyak mengeluarkan darah, bukan?" ayah balik bertanya, mengusap lembut buliran bening yang turun deras bagai hujan di pelupuk mata putrinya itu. Aluna mengangguk saja, terisak kecil.

"Nah, karena temanmu sudah banyak mengeluarkan darah dan di dalam aliran darah di lukanya terdapat racun yang tak terlalu mengancam jiwanya. Namun, karena ia mulai kehabisan darah dan terdapat sample racun di tubuh Rafgan dan di pisau yang tertikam di punggungnya itu, membuat penurunan kesadarannya semakin lemah. Dan hingga kini dia masih koma di ruangan itu," ayah menjelaskan dengan lemah, menatap putrinya yang hanya diam membisu.

"Tadi Ayah bilang apa? Racun? Hiks, ternyata, hiks, ternyata Rafgan terkena racun tanpa Luna sadari, huhuhu..." Aluna menangis sesenggukan, merasa dadanya semakin terhimpit sesuatu. Merasa sangat sesak. Ayah, Agnes, dan Arnold hanya diam saja, tak dapat ide untuk menenangkan Aluna yang tengah menangis pilu itu.

"Nak--" belum usai ucapan yang hendak dilontarkan oleh Ayah, suara dering dari ponsel yang berada di saku celananya lebih dulu memutuskan. 

"Ah, sebentar." Ayah  dengan canggung meminta izin untuk ke luar sekejap agar dapat mengangkat teleponnya.

 Sembari menunggu ayah yang tengah mengangkat teleponnya, suasana di dalam bilik rawat itu kini terasa sangat dingin dan canggung. Aluna yang masih tetap setia dengan posisinya yang tengah menangis, dan Arnold juga Agnes yang saling tatap tak tahu ingin berbuat apa itu, sungguh kombinasi yang sangat epic.

"Um, itu, anu--" saat Arnold hendak memecah hening yang terasa canggung itu, ayah lebih dulu berseru memotong.

"Putriku! Ayah pamit pergi dulu ya, nak." Seru ayah berdiri di depan pintu, berlari kecil menghampiri sang putri. Aluna, Agnes, dan Arnold hanya bisa melongo. Merasa kaget dan syok tiba-tiba ayah berseru lantang begitu situasi saling mecahkan suasana canggung telah sempurna.

"A, Ayah ingin pergi ke mana?" tanya Aluna putus-putus dengan suara seraknya akibat kebanyakan menangiis itu, menatap sang ayah dengan mata bengkak. Ayah tersenyum, mengecup lembut kening putrinya. Menjawab, "Ayah ingin ke kantor polisi, nak. Tadi papanya Rafgan menghubungi Ayah, katanya ingin menindak lanjutin kasus penculikan dan kasus pencobaan pembunuhan yang terjadi pada kamu dan Rafgan." Jawab ayah menjelaskan dengan lembut, mengelus lembut pipi putrinya yang masih terdapat bercak bening dari air matanya itu.

"Sepertinya kita cukup mengganggu berada di sini bukan, Bub?" bisik Arnold pada Agnes, merasa tak sepantasnya dia dan Agnes berada di antara keharmonisan ayah dan anak itu. Agnes tersenyum tipis, mengangguk setuju. 

"Kalau begitu, ayo kita beri ruang untuk Aluna dan ayahnya bicara lebih dulu." Agnes menarik tangan Arnold, hendak pergi dari bilik rawat itu. Berniat ingin memberikan ruang agar Aluna dan ayahnya dapat mengobrol lebih nyaman.

"Hei, anak-anak!" belum sempat Agnes dan Arnold menjejakkan kaki ke luar dari pintu ruang rawat itu, mereka lebih dulu dipanggil oleh ayah. Langkah Agnes dan Arnold seketika terhenti saat mendengar panggilan lantang dari ayah, membalikkan tubuh mereka bersamaan.

"Saya sudah mau pergi, jadi kalian tak perlu ke luar. Dan saya titip Aluna pada kalian berdua, tolong hibur dia." Pesan ayah menepuk pelan pundak Agnes dan Arnold saat ia telah berada di hadapan sepasang remaja tengil itu, berbisik memohon. Arnold dan Agnes saling tatap, lalu memutuskan untuk mengangguk setuju saja. 

"Kalau begitu, saya pamit dulu." Pamit ayah tersenyum puas, melambaikan tangannya ke arah Aluna yang tengah melamun entah ke mana.

"Aluna," Agnes menyentuh pelan lengan kecil Aluna yang penuh memar itu, membuat yang empunya lengan tersentak kaget. 

"Eh, iya, Agnes? Ada apa?" tanya Aluna gelagapan, masih sedikit merasa kaget. Agnes diam sejenak sambil menatap lamat bola mata hitam bening milik Aluna, lalu menjawab.

"Lo mau ketemu Rafgan, kan?" Aluna seketika membulatkan bola matanya, "emang boleh??" Aluna dengan antusias memegang kedua tangan Agnes, merasa sangat senang dan berharap. Agnes diam lagi, lalu tak sampai beberapa detik akhirnya ia mengangguk.

"Ya, lo boleh ke sana. Tapi, gue harap lo gak nekat memaksa buat masuk ke ruangannya," Agnes berpesan dengan wajah serius dan tegas pada Aluna. Aluna menganggukkan kepalanya tanpa ragu, setuju dengan pesan dari Agnes.

Syukurlah aku akhirnya bisa bertemu dengan Rafgan. Aku harap Ibun dan Rafgan tak membenciku setelah ini, Aluna mengepalkan tangannya, membatin. 

"Ayo, gua bantu lo bangun, Aluna." Tawar Agnes mengulurkan tangannya. Aluna tersenyum kecil, mengangguk. Menerima uluran tangan dari Agnes. Sedangkan Arnold dia bertanggung jawab dengan kantung infus dan kantung darah yang yang tergantung di besi penyangganya, membawa besi beroda itu dengan pelan dan hati-hati.

Tunggu aku, Rafgan...

Aluna, Agnes, dan Arnold, berjalan ke luar dari bilik rawat Aluna. Melangkah pergi  menuju tempat Rafgan berada.

Takdir Si Gadis FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang