SI PEMUAS SEKAMPUNG
by Jeremy MurakamiKejadian ini dimulai waktu aku masih kecil. Aku tinggal di sebuah desa di daerah Tulungagung, sebuah kabupaten di Jawa Timur yang belum memiliki infrastruktur yang memadai. Karena segala fasilitas yang serba terbatas, aku tidak bisa hidup nyaman seperti anak-anak di ibukota. Di daerah tempat tinggalku, tidak ada mall. Yang ada hanya Alfamart dan Indomaret yang jaraknya masih harus naik motor sekitar lima belas menit. Dari kecil, kami harus belajar hidup dengan keterbatasan yang ada. Apalagi, aku seorang anak perempuan yang ditinggal oleh orang tuaku. Namaku Tia. Aku tinggal bersama Kakek dan Nenek-ku yang sudah renta serta seorang paman yang menduda, sementara kedua orang tuaku merantau ke Malaysia dan tidak pernah ada kabarnya lagi.
Hidup tanpa orang tua, aku tidak serta merta sedih dan mellow. Namun, tidak bisa kupungkiri, tidak punya orang tua di samping kita saat bertumbuh memang membawa dampak berbeda bagi tumbuh kembang anak. Karena Kakek dan Nenek-ku sudah tua, mereka tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penting di kepalaku, terutama mengenai seks. Di usiaku yang memasuki puber ini, aku tidak tahu menahu soal pendidikan seks selain dari kelas Biologi di sekolah yang minim. Internet juga susah diakses di desa kami. Yang aku tahu, sejak aku kelas 1 SMA, aku jadi terobsesi pada berbagai pria lebih tua di kehidupanku. Aku seakan-akan merindukan sosok pria lebih tua yang menjagaku. Namun, saat itu pikiranku belum macam-macam. Aku hanya suka saja berada di sekitaran para pria lebih tua, terutama yang badannya berotot. Saat itu sih, kesukaanku masih yang usia di atasku, sekitar akhir belasan atau awal dua puluhan. Pria-pria dewasa muda yang masih segar dan gagah.
Sekolahku tempatnya agak jauh dari rumah. Biasanya, aku berangkat sekolah diantar tetanggaku, Mbak Inul. Dia duduk di kelas 3 SMA dan diantar pacarnya, Mas Fendy, teman sekelasnya, pergi ke sekolah menggunakan motor bututnya. Aku sangat tertolong. Soalnya, kalau jalan kaki ke sekolah, kami bisa menghabiskan perjalanan satu jam melewati persawahan yang banyak ular. Aku selalu ikut Mbak Inul setiap hari setiap berangkat maupun pulang sekolah. Karena Mbak Inul pulangnya lebih sore dari aku untuk persiapan Ujian Nasional, sekitar jam tiga, aku terpaksa menunggu mereka di lapangan sekolah sambil melihat cowok-cowok bertelanjang dada dan bermain futsal di lapangan dekat sekolah. Aku pun selalu saja rindu untuk disayang oleh salah satu dari pria-pria berotot itu meskipun usiaku baru sekitar dua belas tahun. Membayangkan mereka mendekatiku dan mengajakku berbicara sambil bertelanjang dada dan penuh keringat begitu sungguh membuat jantungku berdebar-debar. Meskipun saat itu aku belum mengerti soal seks, aku sudah mendambakan sentuhan pria yang lebih besar dari diriku.
YOU ARE READING
KUMPULAN CERITA PANAS by Roberto Gonzales
ChickLitKumpulan Cerita Panas buatan Roberto Gonzales. Khusus 21 tahun ke atas.