Enam

2K 188 13
                                    

Akhir tahun 2024

Salma memejamkan sepasang matanya. Menghalau air mata yang ingin keluar. Deru mobil tidak lagi terdengar. Dan Salma akhirnya memilih melangkah menuju lantai dua rumahnya.

Selama beberapa saat berdiri di balik jendela dengan tirai yang sedikit ia singkap. Melihat mobil Rony berdiam lama di depan rumahnya. Andai lelaki itu memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya. Salma pastikan ia akan membukan pintu. Membiarkan lelaki itu masuk dan bicara apapun yang dia ingin.

Sayangnya lelaki itu tetap tidak keluar dari dalam mobil. Justru mobil itu menjauh hingga derunya tidak lagi tertangkap pendengaran Salma.

Dada Salma terasa sesak. Banyak hal berkecamuk di dalam dirinya. Kenapa Rony tidak memilih turun dan menemuinya? Apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu hingga memilih untuk tidak jadi menemuinya?

Apa Rony takut Salma tidak akan membukannya pintu? Apa lelaki itu takut Salma tidak ingin lagi menemuinya? 

Apa pertemuan terakhir beberapa bulan lalu seperti isyarat kalau Salma mengusir lelaki itu dari hidupnya? Sungguh Salma tidak pernah ingin Rony benar-benar hilang dari hidupnya.

Hari itu, Salma menangis di balik selimut. Ia rindu lelaki itu. Rindu si penenang dari setiap riuh yang kerap menghampiri. Rindu suara lembutnya. Rindu suara tawanya. Salma rindu segala hal tentangnya. Bahkan ia rindu tingkah menyebalkannya.

***

"Sal, udahan nangisnya." Bujuk Novia yang datang sekitar jam sembilan malam tadi. Dan sekarang sudah jam sepuluh. Selama satu jam, Novia menjadi penonton Salma yang sibuk dengan air matanya yang seolah enggan untuk berhenti menetes.

"Gue kangen Rony, Nov. Dia kenapa gak turun tadi. Harusnya dia turun. Ngetuk pintu rumah gue. Gue pasti bukain." Kalimat itu berulang kali Salma ucapkan. Sampai-sampai Novia hanya bisa menghela napas. Bingung bagaimana lagi caranya menenangkan sahabatnya itu.

"Rony pasti punya alasan kenapa dia gak jadi turun buat nemuin lo. Nanti dia pasti nemuin lo kok."

"Kalau dia gak pernah lagi mau nemuin gue gimana, Nov?" Air mata Salma masih saja luruh. 

"Gak bakal, Sal. Cepet atas lambat si jamet satu itu pasti nemuin lo. Dan kalau dia ngajak ketemu, lo jangan menghindar."

"Atau mungkin gue sama Rony emang harus berakhir kayak gini kali ya. Susah buat bisa temenan deket kayak dulu."

"Sal, serahin segala sesuatunya sama Tuhan. Semuanya pasti baik-baik aja. Lo sama Rony pasti bakal nemu titik terbaik buat hubungan kalian."

"Semoga," sahut Salma pelan. Lalu kembali menenggelamkan dirinya ke balik selimut. Dan air matanya kembali menderas.

Novia menghela napas berat. Malam ini ia memilih menginap. Menemani temannya itu. Novia sangat menyayangi Salma. Walaupun mereka tidak sesering dulu dalam hal pertemuan. Namun Salma selalu jadi orang yang akan ia temui tiap kali ia punya waktu luang di tengah semua kesibukannya. Salma sudah seperti saudara perempuannya sendiri.

Untuk kesekian kalinya, Salma tidur bersama air mata karena ia merindukan Rony. Walaupun sebenarnya ia sudah terbiasa merindukan seseorang dan tidur dengan perasaan rindu. Sebagai anak rantau, tiap malam ia selalu merindukan orangtuanya. Selalu. Namun ia bisa kapanpun menelpon orangtuanya melepas rindu lewat sambungan telepon.

Tapi dengan Rony. Salma tidak bisa. Ia tidak bisa lagi tiba-tiba menelpon laki-laki itu. Setidaknya tidak dengan situasi hubungan mereka saat ini.

Boleh kan Salma egois? Ia ingin Rony yang menghubunginya lebih dulu. Salma ingin Rony yang berjalan kearahnya. Ia ingin diusahakan.

***

Banda Neira, akhir 2029

"Jadi saat itu kamu pengen aku usaha?" Rony mengelus kepala Salma yang masih bersandar di dadanya.

"Iya," sahut Salma pelan. "Kenapa gak turun waktu itu?" Salma mendongak, menatap Rony tepat di manik mata lelaki itu.

Rony menghela napas, tersenyum tipis. Ia eratkan pelukannya. Kembali mengingat momen malam itu.

"Malam itu aku putus sama dia, putus yang bener putus." Rony menjeda kalimatnya sesaat. "Tadinya mau ngasih tau kamu, tapi aku mikir lagi. Setelah aku ngasi tau kamu terus apa? Balik temenan lagi? Sementara yang aku mau bukan kita temenan, tapi lebih dari itu. Dan kalau aku menawarkan sebuah hubungan ke kamu saat itu, aku rasa kamu gak akan mau. Dengan kondisi kita yang dulu, masih mustahil buat kita bisa bareng lebih dari temen."

"Kamu takut?" Salma masih menatap Rony lamat-lamat. Betah memandangi wajah suaminya itu.

"Aku takut sama kalimat, kita temenan aja Ron." Rony membuang pandangannya jauh ke depan. Sungguh kalimat itu adalah kalimat yang paling ia hindari untuk ia dengar keluar dari mulut Salma. Rasanya Rony mampu ditolak perempuan manapun. Tapi tidak dengan Salma.

Salma tersenyum, "Tapi ketakutan kamu bikin kita hampir gak pernah ngobrol selama lima tahun."

"Gak apa-apa gak ngobrol selama lima tahun," sahut Rony dengan pandangan masih lurus ke depan. Sementara tangannya mendekap tubuh Salma makin erat. "Sekarang kan kita punya waktu seumur hidup buat ngobrol."

Salma tersenyum lebar mendengar kalimat Rony barusan. Entah kenapa, hatinya menghangat. Melupakan betapa sedihnya ia malam itu saat Rony tidak jadi memutuskan untuk mengetuk pintu rumahnya. 

"Perjalanan kita memang harus seperti itu, sayang." Rony kali ini mengucapkan kalimat itu sambil menatap Salma. "Maaf kalau malam itu kamu sedih gara-gara aku yang masih terlalu banyak takutnya. Maaf malam itu kamu nangis gara-gara aku."

Salma menggeleng cepat, "Gak apa-apa." Ucapnya. "Sekarang aku bahagia."

Rony mengacak puncak kepala Salma gemas. "Ayo bangun, kita jalan-jalan. Masa jauh-jauh ke sini, kita cuma pelukan di hotel"

Salma nyegir lebar. Menegakkan tubuhnya. "Ayo jalan-jalan." Lantas ia lebih dulu masuk ke dalam kamar. 

Rony hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya itu. Salma dan segala tingkahnya selalu saja membuat Rony gemas.

Untuk sesaat Rony tetap di tempatnya. Malam itu ia juga sedih tapi ia tidak terpikir kalau Salma mengharapkan kedatangannya. Rony tahu perasaan Salma namun masih terlalu banyak tapi dalam pikirannya waktu itu. Terlalu banyak tapi yang akhirnya membuatnya tidak berani melangkah. Perlu waktu tahunan untuk menyingkirkan setiap tapi dalam dirinya.

Langkah tiap orang kalau sudah terlalu banyak tapi sulit untuk bergerak maju. Terlalu banyak tapi hanya akan membuat langkah itu diam di tempat. Dan itu yang Rony alami beberapa tahun yang lalu.

Namun, semua itu memang harus seperti itu jalannya. Tidak ada yang Rony sesali. Ia bahagia dengan hidupnya saat ini, sekalipun untuk ada di titik ini, ia mesti melewati perjalanan yang sulit. Lagi pula, Rony sudah terbiasa dengan segala kesulitan. Jadi tidak apa-apa. Ia hanya perlu menyingkirkan banyak tapi yang tidak perlu ada di hidupnya.

"Sayang, ayo cepetan siap-siap." Dari dalam kamar suara Salma terdengar nyaring memanggil.

"Iya, bentar." Seru Rony. Bangkit dari duduknya, berjalan masuk kedalam kamar. Menyusul istrinya untuk bersiap-siap pergi menjelajahi Banda Neira.

***

Note:

Hai guys, apa kabar? Aku harap kalian baik-baik saja. Semoga puasanya juga lancar ya. Sekalipun terlalu banyak riuh belakangan ini. Baik itu di medsos ataupun di real life kalian.

Seperti tulisan yang aku post di X :

"Kita semua hanya sedang mengidolakan manusia lain. Bukan berlomba menjadi paling benar dengan isi kepala kita yang tidak sepenuhnya benar.

Mari melihat semuanya dengan lebih luas dan teliti. Pahami marahnya orang lain seperti kita yang juga ingin dimanusiakan.

Memahami yang tidak sepaham memang melelahkan tapi beradu amarah jauh lebih melelahkan."

Sehat-sehat ya teman-teman. Tetap mengidolakan dengan menyenangkan. Tetap excited menunggu tiap karya dari orang yang kita idolakan.

Jangan kehilangan alasan bahagia, ya :)

Happy reading :)

Menetap (sekuel Kembali) ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang