Dua Puluh

1.5K 231 41
                                    

"Papa pulang!" Begitulah teriakan Rony begitu masuk ke dalam rumah. Tepat pukul sembilan malam ia tiba di rumah.

"Papa bawa uang gak?" Salma berucap sambil menahan tawa, jujur saja ia sedikit geli. Tapi bercanda hal apapun bersama Rony selalu menyenangkan.

"Lebih nungguin uang dibanding papa?" Keisengan Rony masih saja berlanjut.

Salma mengangguk, "Hidup perlu uang, Pa."

"Mama gak asik," Rony berjalan lebih dulu menaiki anak tangga. Ia ingin pergi ke kamar. Ingin bersih-bersih. "Mama lebih sayang uang dibanding papa."

Salma menanggapi dengan tawa, ia tidak ikut naik ke lantai atas. Salma memilih menuju dapur untuk menyiapkan makan.

"Papa jangan ngambek," seru Salma. "Mandi, abis itu turun buat makan. Mama udah masakin."

"Iya sayangku," sahut Rony dengan sedikit berteriak. Ia tersenyum lantas geleng-geleng sendiri. Candaan yang ia buat selalu Salma tanggapi. Walaupun candaan itu terkadang menggelikan.

Ternyata benar, hiduplah dengan orang yang menerima segala hal tentangmu. Termasuk menerima dengan baik segala candaanmu, bahkan sekalipun itu tidak lucu atau menggelikan. Sebab menjalani pernikahan rasanya akan lebih menyenangkan saat kalian bisa tertawa bersama atas hal yang tidak lucu. Juga tertawa bersama atas candaan yang menggelikan sekalipun.

Setengah jam kemudian, Rony akhirnya turun. Sedikit lebih lama dari kebiasaan lelaki itu yang biasanya cuma memerlukan waktu paling lama lima belas menit untuk mandi.

Salma sendiri sudah duduk manis, menunggu Rony untuk bergabung dengannya. Perempuan itu sengaja melewatkan jam makan malam demi untuk bisa makan bersama suaminya.

Saat Rony tertangkap kedua matanya, Salma tersenyum lebar. Senyum yang juga dibalas senyuman oleh lelaki yang berjalan ke arahnya.

"Maaf, lama ya." Ucap Rony setelah duduk di samping Salma.

"Tumben mandinya lama," tukas Salma. Tangannya mulai mengambilkan nasi untuk Rony. "Ngapain kamu?"

"Ya mandi lah, emang ngapain lagi." Sahut Rony dengan sepasang mata yang tidak lepas menatap Salma.

Momen seperti ini, dulu rasanya mustahil. Dilayani Salma dalam hal apapun. Lalu mengingat bagaimana dulu, bagaimana bisa Rony mengkhianati perempuan ini. Ia tersenyum sendiri mengingat bagaimana tingkah Salma akhir-akhir ini yang lebih sering cemburu. Padahal buat apa perempuan itu cemburu, kalau saja ia tahu isi otak dan hatinya hanya ada Salma. Tapi tidak apa, Rony suka melihat Salma yang cemburu. Menggemaskan mengahadapi Salma dalam mode takut kehilangan dirinya.

"Terima kasih," ucap Rony sambil menerima piring yang sudah lengkap berisi nasi beserta lauknya. "Baik banget sih istriku ini."

"Emang," sahut Salma. "Makanya kamu jangan macem-macem, awas aja kalo ngelirik perempuan lain." Ucapnya sambil melayangkan tatapan mematikan.

"Mana berani suamimu ini ngelirik perempuan lain," Rony bersuara di sela kunyahan makannya.

"Bagus," Salma mengacungkan jempolnya. "Kalau berani, kamu gak akan bisa ngeliat aku seumur hidup kamu lagi."

"Serem banget ngancemnya."

"Aku serius loh." Sungguh Salma serius dengan kalimatnya. Bukan sekadar ancaman numpang lewat dan Rony paham itu.

Lelaki itu menarik napas dalam, mengubah posisi sedikit menyamping. Lantas menarik tubuh Salma agar balik menatapnya.

"Sayang," ucapnya lembut. "Aku seneng kamu cemburu. Aku jadi ngerasa disayang banget sama kamu tapi jangan over thinking gak jelas ya. Percaya sama aku."

Menetap (sekuel Kembali) ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang