Dua Puluh Enam

1.5K 235 67
                                    


Salma duduk di teras belakang rumah. Duduk sambil menatap halaman belakang. Kolam ikan yang memisahkan teras dan halaman, sudut halaman yang dipenuhi tanaman hias. Juga sudut lainnya yang Salma tanami dengan beberapa tanaman untuk bumbu dapur. Juga gazebo di tengan halaman. Tempat yang sering digunakan saat  mereka kedatangan tamu terdekat ataupun keluarga.

Hari semakin sore, bahkan langit mulai ditumpahi warna jingga. Namun Salma seolah enggan beranjak. Padahal ia duduk di sana sejak siang tadi. Entah untuk yang keberapa kali, Salma kembali menyeka air mata yang turun tanpa bisa dicegah. Sejak kejadian itu, Salma selalu menangis tiap hari.

Kejadian hari itu seperti mimpi paling buruk yang pernah ia alami. Enam bulan terakhir ia hidup tanpa jiwa. Jantungnya berdetak namun hatinya seolah mati. Salma menarik napas dalam. Satu-satunya yang masih bisa membuatnya merasa hidup selain paru-paru yang masih bisa diisi oksigen, adalah kenangan.

Sejak siang tadi, pikirannya melayang ke masa lalu. Mengingat masa awal pernikahannya bersama Rony. Bulan madu di Banda Neira. Kehamilan pertama. Ngidamnya yang selalu ajaib kata Rony. Seperti senang sekali menonton Rony makan atau tiba-tiba minta dibelikan makanan yang banyak untuk dibagikan. Merengek ingin ikut Rony saat manggung. Menjadi lebih cemburuan. Juga Rony yang jadi lebih protektif selama ia hamil. Semua kenangan itu setidaknya menyelamatkan Salma dari kegilaan yang nyaris merenggut warasnya.

"Sayang ayo masuk," Rony muncul dari arah dalam rumah. Lelaki itu menarik Salma dari segala bayangan kenangan yang Salma nikmati.

Namun ajakan Rony diabaikan Salma. Perempun itu tetap duduk di tempatnya. Melihat Salma hanya diam saja, Rony perlahan mendekat. Lalu merangkul pundak perempuan kesayanggannya, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Dalam rangkulan Rony, Salma tetap diam. Dia menurut saja ke mana Rony membawanya. Lelaki itu mengajak Salma naik ke lantai atas. Ke kamar mereka.

"Kamu mandi dulu ya," ucap Rony dengan nada lembut yang tidak berubah sejak dulu, bahkan selama enam bulan belakangan.

Salma mengangguk sebagai respon.

"Mau aku bantuin atau sendiri?" Tanya Rony saat mereka sudah tiba di dalam kamar.

"Sendiri," Salma menyahut pelan. Pelan sekali. Tak apa, setidaknya Salma menyahut dengan suara. Bukan isyarat gerakan lagi.

"Yaudah," Rony tersenyum. Tangannya bergerak melepas pasmina yang menutupi kepala Salma. "Sana ke kamar mandi. Aku tungguin di sini. Kalau perlu apa-apa panggil aku, ya."

Salma mengangguk, lalu ia berjalan pelan ke arah kamar mandi. Sementara Rony menunggu di luar. Berjaga-jaga kalau Salma membutuhkan sesuatu sekaligus memastikan keadaannya baik-baik saja.

Sepeninggal Salma yang masuk ke dalam kamar mandi. Rony memutuskan duduk di tepi ranjang dengan tatapan ke arah pintu kamar mandi. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Enam bulan terakhir berat sekali. Lelaki itu kehilangan dua orang paling berharga dihidupnya. Satu diambil Tuhan, satunya lagi diambil rasa sedih.

Ingatan Rony melayang pada kejadian enam bulan lalu.

Waktu itu kehamilan Salma memasuki bulan keenam. Kondisi kehamilannya baik-baik saja. Anak mereka di dalam perut juga sehat, pertumbuhannya baik-baik saja. Namun malam itu, sesuatu terjadi. Sesuatu serupa mimpi buruk.

Salma dan Rony menghadiri acara reuni dengan teman lama mereka yang berasal dari ajang pencarian bakat yang dulu mereka ikuti. Acara yang diadakan di salah satu restoran itu berjalan menyenangkan. Nyaris semuanya datang. Bahkan lebih ramai sebab beberapa dari mereka membawa pasangan, bahkan ada yang membawa anak.

Menetap (sekuel Kembali) ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang